Pasal Pertama: Asal Muasal Sang Tokoh
Alkisah, di negeri Medan yang masyhur dengan kopi Mandailing yang harum semerbak, lahirlah seorang anak pada hari ketujuh bulan April, tahun seribu sembilan ratus delapan puluh tiga Masehi. Diberi nama Topan Obaja Putra Ginting, lengkap dengan gelar-gelar yang bertaburan bagai bintang di langit: Dr., S.STP, M.SP—gelar yang panjangnya menyamai daftar tuduhan yang kelak menimpanya.
Anak ini tumbuh menjadi sosok yang didambakan segala mertua di seantero negeri. Kecerdasannya bagai pedang bermata dua, ketajaman akalnya seperti harimau yang mengintai mangsa. Lulusan STPDN tahun dua ribu tujuh, ia memulai perjalanan hidupnya sebagai abdi negara dengan hati yang—konon—tulus ikhlas.
Pasal Kedua: Perjalanan Menuju Puncak Kekuasaan
Bagai seorang pendekar yang menguasai ilmu meringankan tubuh, Topan menaiki tangga jabatan dengan kecepatan yang mencengangkan. Dari Kasubbag Protokol Pemkot Medan, ia melompat menjadi Kabid Diskominfo, kemudian melesat menjadi Camat, naik lagi menjadi Plt Sekda Kota Medan, berlanjut sebagai Kadis PU, Plt Kadispora, Kadisdik, Kadis PUPR Sumut, hingga Plt Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral.
Setiap kali kursi jabatan kosong, seolah-olah bidadari turun dari kayangan membawa surat keputusan yang dituliskan khusus untuknya. Rakyat bergumam heran, “Alangkah beruntungnya pemuda ini, seolah-olah ia memiliki pusaka sakti yang mampu membuka segala pintu kekuasaan.”
Pasal Ketiga: Altar Digital dan Pamer Kedekatan
Di zaman kekinian ini, Topan membangun sebuah altar digital bernama Instagram, tempat ia memamerkan kedekatan dengan para penguasa. Di sana terpampang potret dirinya bersama Baginda Presiden Prabowo, berdiri tegak penuh harapan. Ada pula jepretan bersama mantan Presiden Jokowi, dengan senyum yang seolah berkata, “Lihatlah anak muda ini, dialah harapan bangsa.”
Tak ketinggalan foto bersama para jenderal TNI, Gubernur Bobby Nasution, dan selfie di berbagai lokasi proyek. Ia tampil bagai tokoh dalam cerita wayang yang telah menamatkan semua level kepangkatan dan kini siap menjadi legenda.
Pasal Keempat: Kejatuhan Sang Raja
Namun takdir berkata lain. Legenda itu retak, bahkan remuk redam di tangan KPK pada hari kedua puluh enam bulan Juni, tahun dua ribu dua puluh lima. Sebuah operasi tangkap tangan yang mengguncang bumi Sumatra Utara. Topan ditangkap dalam dugaan suap proyek infrastruktur jalan senilai dua ratus tiga puluh satu koma delapan miliar rupiah.
Proyek pembangunan Jalan Sipiongot–batas Labusel senilai sembilan puluh enam miliar rupiah dan Hutaimbaru, Sipiongot senilai enam puluh satu koma delapan miliar rupiah, yang semula merupakan jalan kemajuan, mendadak berubah menjadi jalan kenistaan. Yang tadinya sinyal keberhasilan, kini menjadi sinyal darurat moral.
Pasal Kelima: Mahakarya yang Absurd – Lampu Pocong
Di antara semua karyanya, ada satu yang paling memilukan hati rakyat: proyek lampu pocong. Bukan kiasan, bukan pula metafora, melainkan lampu jalan yang bentuknya benar-benar menyerupai pocong! Sebanyak seribu tujuh ratus unit dengan nilai dua puluh lima koma tujuh miliar rupiah.
Seperti nasib kebanyakan janji para pejabat, banyak lampu yang mati sebelum waktunya. Lampunya tak menyala, namun anggarannya menyala-nyala bagai api neraka. DPRD mengutuk, warga mengelus dada, bahkan hantu pun ikut bingung melihat kelakuan manusia yang lebih menyeramkan dari mereka.
Pasal Keenam: Proyek-Proyek Lainnya yang Bermasalah
Topan juga terlibat dalam proyek kabel tanam dan drainase perkotaan—proyek-proyek yang dalam rapat disebut “infrastruktur penopang masa depan”, namun dalam kenyataan lebih pantas disebut “lubang masa depan”. Tak jelas kemajuannya, tak jelas manfaatnya, yang jelas uang negara terus mengalir ke kantong-kantong tertentu.
Pasal Ketujuh: Akhir yang Menyedihkan
Kini semua gelar, jabatan, dan koneksi hanya tinggal deretan nama di berkas perkara pengadilan. Yang dahulu dielu-elukan karena kariernya yang melesat cepat, kini dicaci karena kerakusannya yang lebih cepat lagi.
Ia adalah lambang ASN superkilat yang bukan hanya pintar meniti karier, tetapi juga mahir mencari celah dalam setiap proyek. Ia bukan sekadar koruptor biasa—ia adalah seniman anggaran, tukang poles laporan, aktor utama dalam sandiwara “Jalan-Jalan ke Penjara”.
Epilog: Pesan Moral bagi Anak Cucu
Wahai anak cucu yang akan datang, ingatlah kisah Topan Obaja Putra Ginting ini sebagai peringatan. Betapa foto bersama presiden dapat dijadikan tameng moral palsu, betapa proyek bernilai miliaran dapat menjadi bancakan rakus, dan betapa pejabat yang mengaku membangun negeri justru menghancurkannya dari dalam, sambil tersenyum manis dan sesekali memperbarui cerita di media sosial.
Topan, namamu akan dikenang sepanjang masa. Bukan sebagai pembaharu Sumatera Utara yang mulia, melainkan sebagai badai kecil yang menyapu bersih harapan rakyat di jalan-jalan yang bahkan belum selesai diaspal.
Demikianlah Hikayat Topan Obaja Putra Ginting, semoga menjadi pelajaran bagi siapa saja yang membacanya, agar jangan sampai terjerumus ke dalam lembah keserakahan seperti tokoh dalam kisah ini.
*Tamat*