Sinar matahari Juli menyelinap melalui celah-celah daun beringin di halaman Universitas Sebelas Maret. Dara Ayu—teman-temannya memanggilnya DA—duduk di bangku taman sambil menatap layar laptop yang menampilkan draft skripsinya tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Bab III, revisi ke-7. Angka-angka statistik kecelakaan kerja berjejer rapi, tapi yang tidak tertulis adalah statistik tentang mahasiswa yang terjatuh dalam kecelakaan hidup mereka sendiri.

“DA, kamu kenapa sih? Kok pucat banget?” tanya Sinta, sahabat sekaligus teman satu bimbingan.

DA mengangkat kepala, memaksakan senyuman yang sudah ia latih berbulan-bulan. “Biasa, begadang terus. Pak Sumar minta revisi lagi soalnya.”

“Ih, dosen killer banget ya. Untung aku bukan bimbingannya.” Sinta menggeleng sambil mengunyah roti bakar. “Eh, tapi kamu benar-benar harus istirahat. Kayaknya kamu makin kurus deh.”

Istirahat. Kata yang terdengar asing di telinga DA. Bagaimana bisa istirahat ketika pikiran tidak pernah berhenti berputar? Seperti mesin cuci yang rusak, terus berputar tanpa pernah mencapai mode ‘stop’. Setiap malam, ia terbaring menatap langit-langit kamar kos yang berlubang, mendengar suara tetangga yang bertengkar, sambil merenung tentang hidup yang terasa seperti marathon tanpa garis finish.

“Iya, nanti aku tidur siang,” jawab DA sambil memasukkan laptop ke dalam tas. “Aku mau ke perpustakaan dulu.”

Perpustakaan. Tempat paling sunyi di kampus yang bising. Di sana, DA bisa menyembunyikan air mata yang kadang tiba-tiba mengalir tanpa sebab. Di antara deretan buku tebal tentang manajemen risiko, ia sering bertanya-tanya: di mana buku yang mengajarkan cara mengelola risiko patah hati?

Bab I: Ruang Konsultasi

Ruang konsultasi Dr. Sumardiyono dipenuhi aroma kopi dan tumpukan kertas skripsi. Dosen berusia 50-an itu dikenal tegas tapi peduli. Ia sudah membimbing ratusan mahasiswa, dan dari pengalaman, ia bisa membaca tanda-tanda mahasiswa yang ‘bermasalah’.

“DA, duduk. Gimana kabarmu?” Dr. Sumar melepas kacamata bacanya.

“Baik, Pak. Ini draft revisi bab III-nya.” DA meletakkan kertas di meja dengan tangan yang sedikit gemetar.

Dr. Sumar tidak langsung membaca. Ia menatap DA dengan pandangan yang tidak biasa diberikan dosen pada mahasiswa—pandangan seorang ayah pada anak yang sedang terluka.

“Kamu tahu nggak, DA? Selama 20 tahun jadi dosen, aku lebih sering khawatir dengan mahasiswa daripada dengan penelitian mereka.”

DA mengangkat alis. “Maksudnya, Pak?”

“Skripsi bisa direvisi, tapi hidup tidak. Aku lihat kamu beberapa minggu ini… ada yang tidak beres. Kamu mau cerita?”

Hening. DA merasakan ada yang menyumbat tenggorokannya. Ia ingin bercerita, tapi bagaimana cara menjelaskan bahwa bangun tidur setiap pagi terasa seperti perjuangan? Bagaimana menjelaskan bahwa setiap senyuman yang ia berikan adalah hasil acting yang membuatnya kelelahan?

“Aku cuma lelah, Pak. Mungkin butuh libur bentar.”

“Mungkin kamu butuh cuti akademik. Tiga bulan, misalnya. Untuk recovery. Aku sudah kasih rekomendasi ke fakultas.”

“Tidak!” DA menjawab terlalu cepat. “Maksudnya, nggak usah, Pak. Aku bisa kok.”

Dr. Sumar menghela napas. “DA, tidak ada yang salah dengan mengambil cuti. Ini bukan berarti kamu gagal.”

“Tapi nanti orang-orang akan bilang aku mahasiswa bermasalah.”

“Lalu? Lebih baik bermasalah tapi hidup, daripada terbebani sampai…”

“Sampai apa, Pak?”

Dr. Sumar tidak menjawab. Ia hanya menatap DA dengan pandangan yang sulit dijelaskan—campuran antara kekhawatiran dan ketidakberdayaan seorang pendidik yang merasa sistemnya tidak sempurna.

Bab II: Surat Kecil

Malam itu, DA duduk di kamar kosnya yang berukuran 3×3 meter. Dinding berlapis cat hijau yang sudah mengelupas, kasur single dengan sprei lusuh, dan meja belajar yang penuh dengan buku-buku tebal. Ia menatap selembar kertas kosong yang sudah sejam tergeletak di hadapannya.

Ia mulai menulis:

*”Ibu, maaf aku tak sekuat Ibu. Maaf aku nggak bisa jadi putri yang membanggakan. Aku capek, Bu. Capek jadi seseorang yang bukan diriku. Capek pura-pura kuat padahal rapuh. Capek tersenyum padahal hati hancur.*

*Tak masalah semua orang bilang yang lain bipolar juga bisa, aku nggak… Aku capek. Aku bukan diriku lagi, Bu. Aku sudah lama bukan diriku.”*

Ia berhenti menulis, tangannya gemetar. Suara hujan mulai membasahi atap seng kosnya. Hujan yang sama yang dulu selalu membuatnya merasa tenang, kini terasa seperti dentuman yang menyakitkan di kepala.

DA mengambil ponselnya, membuka galeri foto. Ada foto keluarga saat wisuda SMA, foto bersama teman-teman saat masa ospek, foto dengan Sinta di warung makan favorit mereka. Semuanya menunjukkan senyuman. Senyuman yang kini terasa seperti kebohongan terbesar dalam hidupnya.

Ia ingat percakapan dengan psikiater minggu lalu:

“Dara, kamu harus ingat bahwa perasaan ini temporer. Akan ada masa-masa sulit, tapi akan ada juga masa-masa indah.”

“Tapi, Dok, bagaimana kalau masa sulitnya lebih lama dari masa indahnya?”

“Maka kita cari cara untuk memperpanjang masa indahnya.”

“Bagaimana kalau aku sudah tidak bisa merasakan apa itu indah?”

Psikiater itu terdiam sejenak. “Maka kita mulai dari hal kecil. Rasa syukur atas napas yang masih bisa kamu hirup, atas matahari yang masih bersinar untukmu.”

Tapi malam itu, DA tidak bisa merasakan apapun. Tidak ada rasa syukur, tidak ada harapan, tidak ada apapun kecuali kekosongan yang menggerogoti dari dalam.

Bab III: Jembatan Jurug

Selasa siang, 1 Juli 2025. Langit mendung, seperti mengetahui apa yang akan terjadi. DA mengendarai motor metiknya menuju Jembatan Jurug. Jembatan yang menghubungkan dua sisi kota, jembatan yang telah menjadi saksi bisu berbagai kisah hidup dan mati.

Ia parkir motornya di pinggir jembatan, berjalan perlahan menuju pembatas beton. Di bawahnya, Sungai Bengawan Solo mengalir dengan tenang, seolah menawarkan ketenangan yang sudah lama ia cari.

DA mengeluarkan surat kecil yang sudah ia tulis, meletakkannya di atas motor. Angin siang mengibas-ngibaskan rambutnya yang sudah berminggu-minggu tidak ia potong. Ia menutup mata, mendengar suara air yang mengalir, suara yang terdengar seperti lagu nina bobo yang tidak pernah ia dengar sewaktu kecil.

“Maaf, Bu. Maaf, Pak Sumar. Maaf, Sinta. Maaf, dunia.”

Ia tidak tahu bahwa di kantor bimbingan, Dr. Sumardiyono sedang menelepon fakultas untuk mempercepat proses cuti akademik DA. Ia tidak tahu bahwa Sinta sedang membeli tiket bioskop untuk mengajak DA nonton film komedi akhir pekan ini. Ia tidak tahu bahwa ibunya di kampung sedang menabung untuk mengirim paket makanan kesukaan anaknya.

Yang ia tahu hanyalah rasa lelah yang sudah tidak tertahankan lagi. Rasa lelah menjadi seseorang yang tidak pernah benar-benar ia kenal.

Bab IV: Pencarian

Tiga jam kemudian, Sinta menelepon DA berulang kali. Tidak ada jawaban. Ia mendatangi kos DA, mengetuk pintu, memanggil namanya. Tidak ada sahutan.

“Mbak, tolong bukakan pintu kamar DA,” pinta Sinta pada pemilik kos.

Kamar kosong. Hanya ada buku-buku yang berserakan dan laptop yang masih menyala, menampilkan draft skripsi yang tidak akan pernah selesai.

Dr. Sumardiyono mendapat kabar dari Sinta. Ia langsung menghubungi orang tua DA, polisi, dan tim SAR. Pencarian dimulai saat matahari mulai condong ke barat.

Motor metik DA ditemukan di Jembatan Jurug bersama surat kecil yang sudah ia tulis. Pencarian di sungai dilakukan hingga malam, melibatkan puluhan relawan dan petugas BPBD. Sinar senter menerangi permukaan air yang gelap, mencari sosok yang mungkin sudah terlalu lelah untuk kembali ke permukaan.

Sinta menangis di tepi sungai. “Kenapa dia nggak bilang kalau seberat ini? Kenapa dia nggak minta tolong?”

Dr. Sumardiyono memeluk mahasiswa bimbingannya yang lain. “Mungkin dia sudah minta tolong, tapi kita yang tidak dengar. Mungkin setiap senyuman yang dipaksakan adalah tanda bahaya yang tidak kita pahami.”

Bab V: Yang Tersisa

Sebulan kemudian, kamar DA di kos masih kosong. Sinta sering berkunjung, duduk di meja belajar DA sambil membaca draft skripsi yang tidak akan pernah selesai. Judul penelitiannya tentang “Analisis Faktor Risiko Kecelakaan Kerja di Industri Manufaktur”—ironis, mengingat DA sendiri menjadi korban kecelakaan sistem yang tidak sempurna.

Dr. Sumardiyono mengusulkan program konseling gratis untuk mahasiswa di fakultas. Ia juga memulai grup diskusi mingguan bernama “Ruang Cerita” tempat mahasiswa bisa berbagi beban tanpa takut dihakimi.

“DA mengajarkan kita bahwa kadang-kadang, senyuman adalah tanda bahaya yang paling sulit dikenali,” ujar Dr. Sumardiyono pada sesi pertama Ruang Cerita. “Tugas kita adalah belajar mendengar tangisan yang tidak terdengar.”

Di rumah, ibu DA menyimpan foto terakhir anaknya—foto wisuda SMA dengan senyuman yang sangat lebar. Kini ia tahu bahwa senyuman itu mungkin sudah dipaksakan sejak lama.

“Seandainya aku tahu,” gumamnya sambil memeluk foto itu. “Seandainya aku bertanya lebih dalam ketika dia bilang ‘baik-baik saja’.”

Epilog: Surat untuk Bengawan

Sinta menulis surat untuk DA, surat yang tidak akan pernah sampai:

*”DA, aku tahu kamu sudah pergi. Tapi aku mau bilang, kamu salah kalau kamu pikir nggak ada yang peduli. Pak Sumar sampai sekarang masih nyimpen draft skripsimu. Katanya, suatu hari nanti, dia akan selesaikan penelitianmu tentang keselamatan kerja, tapi judulnya diubah jadi ‘Analisis Faktor Risiko Kecelakaan Jiwa di Dunia Akademik’.*

*Aku juga mau bilang, kamu nggak sendirian. Ternyata banyak teman-teman yang merasakan hal yang sama. Setelah kamu pergi, banyak yang mulai bercerita. Mereka bilang, kamu berani melakukan sesuatu yang mereka nggak berani lakukan—meskipun caranya salah.*

*Sekarang kita punya Ruang Cerita. Tempat untuk berbagi tanpa takut dihakimi. Tempat untuk bilang ‘aku nggak kuat’ tanpa merasa malu. Tempat untuk menangis tanpa harus meminta maaf.*

*Kamu tahu nggak, DA? Setelah kamu pergi, aku baru sadar kalau selama ini aku juga pura-pura kuat. Aku juga lelah, tapi aku takut dibilang lemah. Tapi sekarang aku tahu, mengakui lelah bukan berarti lemah. Mengakui lelah adalah tanda bahwa kita masih mau berjuang.*

*Aku janji, aku akan hidup untuk kita berdua. Aku akan menyelesaikan kuliah ini, bukan cuma untuk diriku, tapi juga untuk mimpi-mimpi kamu yang nggak sempat terwujud. Aku akan jadi orang yang bisa mendengar tangisan yang tidak terdengar, seperti yang diajarkan Pak Sumar.*

*Semoga kamu sudah menemukan ketenangan yang kamu cari, DA. Semoga di sana, kamu nggak perlu lagi memakai topeng. Semoga di sana, kamu bisa jadi diri sendiri yang sesungguhnya.*

*Terima kasih sudah mengajarkan kami untuk saling peduli. Terima kasih sudah mengingatkan kami bahwa di balik setiap senyuman, mungkin ada hati yang sedang berdarah.*

*Sampai jumpa lagi, sahabat. Suatu hari nanti, ketika kami sudah belajar menciptakan dunia yang lebih baik, kami akan ceritakan padamu kalau misi kamu berhasil—kamu membuat kami lebih manusiawi.”*

Sinta melipat surat itu, berjalan ke tepi Sungai Bengawan Solo, dan melepaskannya ke dalam air. Kertas putih itu mengapung sejenak sebelum terbawa arus, seolah membawa pesan untuk DA yang entah berada di mana.

Sungai itu tetap mengalir, seperti kehidupan yang harus terus berjalan. Tapi kini, siapa pun yang melintas di Jembatan Jurug akan mengingat bahwa di suatu tempat, ada seseorang yang begitu lelah sehingga memilih untuk berhenti. Dan semoga, ingatan itu membuat mereka lebih peka terhadap kelelahan orang-orang di sekitar mereka.

Karena kadang-kadang, satu-satunya yang dibutuhkan seseorang adalah mendengar bahwa tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja.

Cerpen ini terinspirasi dari kisah nyata. Ditulis dengan harapan agar kita semua belajar mendengar tangisan yang tidak terdengar, dan mengulurkan tangan sebelum seseorang memutuskan untuk menyerah.

Jika kamu merasakan hal yang sama dengan DA, ingatlah: kamu tidak sendirian. Selalu ada orang yang peduli, meskipun kamu merasa tidak ada. Selalu ada bantuan yang tersedia, meskipun kamu merasa tidak layak mendapatkannya.

Hidup memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak berharga.