Banyak followers meminta saya menuliskan kisah Agam yang dianggap Hero (pahlawan) oleh orang Brazil. Kisah ini sangat menarik. Sebuah ketulusan dalam membantu sesama. Saya juga merasakan, ketika menuliskan kisah perjuangan mahasiswa yang istrinya hamil tua sukses menyelesaikan skripsi, banyak donasi dari netizen untuknya. Kisah inspiratif coba saya persembahkan untuk kalian, siapa tahu kita tetap menjadi manusia penuh empati pada saudara kita yang kesulitan. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak!

Sampeyan bayangkan, wak! Sebuah tubuh terbujur kaku di jurang sedalam 600 meter, diterpa angin malam, dijaga oleh seorang pria yang tidak punya kekuatan super, tidak membawa alat canggih, dan tidak punya kru sinematik. Ia cuma punya nyali, senter, dan rasa kemanusiaan yang, kalau diuangkan, jauh lebih mahal dari semua superhero Marvel digabung jadi satu.

Namanya Agam Haris Agam. Kini dielu-elukan oleh netizen negeri Ronaldinho dengan sebutan Agam Rinjani, Malaikat Gunung, Pahlawan Lintasan Vertikal. Ini yang paling absurd, “O Anjo de Pedra” alias Malaikat Batu. Ya, ini bukan kisah fiksi, ini kisah nyata yang lebih dramatis dari sinetron prime time.

Awalnya, semua ini bermula dari tragedi, seorang pendaki asal Brasil, Juliana Marins, terperosok ke jurang Rinjani, jatuh 600 meter, dan hilang. Kebanyakan orang akan pasrah, berkata “semoga ditemukan”, lalu lanjut scrolling. Tapi Agam tidak. Ia turun. Ia bertahan. Ia siaran langsung sambil menggenggam tubuh Juliana yang nyaris jatuh lebih jauh. “Saya menahan dia agar tidak tergelincir lagi sejauh 300 meter,” kata Agam dalam wawancara dengan Globo, media utama Brasil, bukan grup WhatsApp RT.

Ia berjaga di tepi jurang semalaman, bukan untuk konten, tapi karena ia tidak bisa tidur sementara ada jenazah yang belum pulang. Untuk itu, semesta pun tampaknya sepakat, pria ini layak mendapat sesuatu.

Maka turunlah berkah dari langit, bukan hujan atau pelangi, tapi donasi dari warga Brasil yang menyaksikan keberanian Agam melalui layar-layar ponsel mereka. Lewat organisasi Razoes para Acreditar dan VOAA, terkumpullah lebih dari 520.000 real Brasil, sekitar Rp1,5 miliar. Murni apresiasi. Tanpa diminta, tanpa proposal, tanpa seleksi. Hanya karena satu hal, hati nurani kolektif warga dunia tersentuh oleh satu pria dari Lombok yang berjaga di tepi jurang.

Tentu saja, seperti semua hal indah di dunia ini, datanglah kontroversi. Donasi sempat dibatalkan karena ada potongan biaya administrasi 20 persen dari VOAA. Tapi masyarakat Brasil, dengan semangat samba dan keadilan, langsung bersuara lantang, “Tidak! Kirimkan Semuanya ke Agam!” Vicente Carvalho, perwakilan VOAA, langsung angkat bicara, “Donasi akan disalurkan 100 persen. Titik. Tidak pakai fee. Tidak pakai potongan.”

Namun, tantangan tak hanya datang dari luar. Dari dalam negeri, muncul suara-suara sayup dari rekan-rekan Tim SAR. Beberapa merasa narasi publik terlalu fokus pada Agam. Seolah ia sendirian menyelamatkan dunia. Rio Pratama, anggota tim, menyindir lewat media sosial, sindiran kelas berat, penuh ironi dan rasa ingin disebut.

Agam menjawab bukan dengan emosi, tapi dengan rencana konkret, uang donasi akan dibagikan ke seluruh tim relawan, dipakai untuk alat keselamatan, reboisasi hutan, dan penyelamatan berikutnya. Sebab menurutnya, semua ini bukan tentang uang, tapi tentang nyawa. Tentang nilai kemanusiaan. Tentang Rinjani yang harus tetap hijau, bukan jadi arena drama birokrasi.

Inilah dia, Agam Rinjani. Bukan politisi. Bukan pesulap media sosial. Tapi pria biasa dengan keberanian luar biasa. Ia tak membangun pencitraan, ia membangun jalan pulang untuk jenazah. Ia tak menuntut imbalan, tapi dunia mengulurkan tangan.

Kalau di dunia ini masih ada pahlawan sejati, maka satu di antaranya sedang duduk di kaki gunung, menolak dielu-elukan, sambil merencanakan penanaman pohon. Hormat, Agam. Kami salut.

Penulis :
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar