Angin sore itu bertiup lebih lambat dari biasanya, seolah-olah alam semesta sedang menahan napas. Di ruang sidang yang sempit, cahaya matahari menerobos jendela kaca buram, menyinari sosok pemuda yang duduk tegak di kursi plastik biru. Tangannya yang kasar mencengkeram map biru tua—saksi bisu perjalanan panjang menuju hari ini.

Namanya Aswandi. Bukan nama yang akan tercatat dalam sejarah besar, tapi cukup untuk menggetarkan hati siapa saja yang mendengar kisahnya.

Hari itu, 24 Juni 2025, bukan sekadar hari sidang skripsi biasa. Ini adalah pertarungan antara mimpi dan kenyataan, antara harapan yang menggunung dan beban yang menghimpit bahu.

Pak Dosen—pembimbingnya—duduk di seberang meja. Matanya yang sudah lelah melihat ribuan mahasiswa, kali ini menatap dengan penuh hormat pada sosok di hadapannya. Aswandi bukan mahasiswa biasa yang datang hanya saat butuh tanda tangan. Dia adalah murid yang duduk di teras rumah sang dosen setiap habis magrib, membawa laptop lusuh dan secangkir kopi pahit yang tak pernah ia sentuh.

“Pak, saya bisa bimbingan malam ini?” pesan itu selalu datang dengan nada yang sama—rendah hati, penuh harap.

Dan Pak Dosen selalu menjawab, “Datang saja habis magrib.”

Motor bebek tuanya akan menderu pelan di gang sempit, membawa mimpi yang lebih besar dari suara mesinnya. Aswandi akan duduk di kursi kayu, mengeluarkan laptop yang layarnya retak di sudut kiri, dan mulai membacakan bab demi bab skripsinya. Suaranya tenang, meski Pak Dosen tahu, di balik ketenangan itu tersimpan gelisah seorang suami yang istrinya sedang hamil tua.

Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya bangun, Aswandi sudah berdiri di balik gerobak es tebunya. Lokasinya di pinggir Pasar Sungai Durian, tempat yang tak pernah sepi dari hiruk pikuk pedagang dan pembeli. Tangannya yang sama—yang mengetik skripsi di malam hari—kini meremas batang tebu dengan kekuatan yang lahir dari tanggung jawab.

“Es tebu! Es tebu segar!” teriaknya dengan suara yang tak pernah serak, meski tenggorokannya kering oleh debu jalanan.

Tapi hidup, seperti roda es tebu yang berputar, tak selalu berputar mulus. Hari itu datang seperti badai—truk-truk Pemkab datang dengan papan “Penertiban.” Lapak-lapak pedagang, termasuk gerobak es tebu Aswandi, harus angkat kaki. Mimpi-mimpi kecil para pedagang ikut tergusur bersama tenda-tenda lapuk mereka.

Aswandi tidak menangis. Dia hanya berdiri, menatap gerobaknya yang sudah kosong, lalu tersenyum pahit. “Hidup memang tidak pernah mudah,” gumamnya sambil mendorong gerobak menuju lokasi baru—belakang pasar, tempat yang lebih sempit, lebih panas, dan lebih jauh dari keramaian.

Di sana, tanpa listrik yang stabil, tanpa payung yang cukup besar, Aswandi tetap berdiri. Setiap sore, setelah menghitung uang hasil jualan yang tak seberapa, dia akan pulang, mandi, dan bersiap untuk bimbingan malam. Istrinya, dengan perut yang semakin membesar, selalu menyiapkan kopi tanpa gula—karena gula sudah habis untuk membuat es tebu.

“Gimana bab empat, Pak?” tanya Aswandi pada bimbingan terakhir, suaranya sedikit bergetar.

“Sudah bagus. Kamu siap sidang,” jawab Pak Dosen, meski dalam hati dia berdoa agar segala sesuatunya berjalan lancar.

Dan hari itu tiba. Ruang sidang yang biasa menjadi saksu drama mahasiswa yang gugup, kali ini menjadi panggung bagi seorang pejuang sejati. Aswandi menjawab setiap pertanyaan dengan tenang, meski keringat membasahi dahinya. Ketika dinyatakan lulus, ruangan itu seolah dipenuhi angin sejuk.

Setelah sidang selesai, Aswandi menghampiri Pak Dosen. Tangannya yang kasar—tangan yang sudah terbiasa meremas tebu dan mengetik skripsi—menggenggam tangan sang pembimbing, lalu menciumnya dengan penuh rasa hormat.

“Terima kasih, Pak. Tanpa Bapak, saya tidak akan sampai di sini,” ucapnya dengan suara yang hampir tersedat.

Pak Dosen hanya tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. Dia tahu, gelar Sarjana Manajemen yang kini disandang Aswandi bukanlah sekadar gelar akademis. Ini adalah gelar kehidupan—bukti bahwa takdir bisa diubah dengan kerja keras dan doa yang tulus.

Malam itu, Aswandi pulang dengan hati yang ringan. Di rumah kecilnya, istrinya menunggu dengan senyum bahagia. Perut buncitnya seolah ikut bangga dengan pencapaian suaminya.

“Gimana, Bang?” tanya sang istri.

“Lulus, Sayang. Kita lulus,” jawab Aswandi sambil mengelus perut istrinya dengan lembut.

Esok hari, Aswandi kembali berdiri di balik gerobak es tebunya. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ada kebanggaan baru di matanya, ada harapan baru di langkahnya. Dia masih Aswandi si pedagang es tebu, tapi kini juga Aswandi sang Sarjana—sarjana kehidupan yang tahu bahwa setiap tetes keringat adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik.

Dan ketika matahari terbenam, seperti biasa, Aswandi akan pulang. Tapi kali ini, dia membawa pulang lebih dari sekadar uang hasil jualan. Dia membawa pulang bukti bahwa mimpi, sekecil apa pun, bisa menjadi kenyataan jika diperjuangkan dengan sepenuh hati.

“Hidup ini seperti es tebu—manis di dalamnya, tapi butuh diperas dulu sebelum bisa dinikmati.”