Pagi itu, angin Malang bertiup pelan di halaman Griya Lansia Husnul Khatimah. Dedaunan kering berguguran seperti air mata yang sudah lama mengering. Sebuah mobil sedan putih berhenti dengan suara mesin yang masih menderu sebentar, sebelum akhirnya hening.
Tiga perempuan keluar dari mobil itu. Dua di antaranya bergerak dengan tergesa, seperti ingin segera menyelesaikan urusan yang tak menyenangkan. Yang ketiga, seorang wanita renta berusia 74 tahun, melangkah pelan dengan langkah yang terseret. Jilbab ungu tuanya berkibar tertiup angin pagi, menutupi rambut putih yang sudah jarang. Namanya Mbah Nasikah.
Di tangannya yang keriput dan gemetar, ia memegang sebuah tas kecil berwarna cokelat. Tas itu berisi sedikit pakaian, obat-obatan, dan mungkin beberapa foto lusuh yang menjadi satu-satunya saksi masa lalunya yang lebih bahagia. Kini, tas itu terasa berat seperti seluruh hidupnya.
“Biar kami saja yang tanda tangan, Bu,” kata SR, putri sulungnya, sambil menatap ibunya dengan pandangan yang sulit diartikan. Campuran antara rasa bersalah dan kelegaan.
F, putri bungsunya, hanya mengangguk sambil menunduk. Tangannya sibuk memainkan ponsel, mungkin untuk menghindari tatapan mata ibunya yang penuh pertanyaan.
Arief Camra, ketua yayasan yang sudah puluhan tahun mengelola panti jompo itu, berdiri di beranda sambil mengamati pemandangan yang sudah tak asing lagi baginya. Tapi hari ini berbeda. Biasanya, lansia yang datang adalah mereka yang memang sebatang kara, tak punya siapa-siapa. Kali ini, seorang ibu diserahkan oleh anak kandungnya sendiri.
Pena bergerak pelan di atas selembar kertas perjanjian. Tinta hitam mengalir, membentuk huruf-huruf yang dingin dan tak berperasaan. Bukan surat cinta dari anak untuk ibu. Bukan permintaan maaf. Bukan pengakuan kasih sayang. Melainkan… permohonan agar pihak panti tidak menghubungi keluarga jika Mbah Nasikah meninggal dunia.
Mbah Nasikah duduk di kursi kayu tua di samping Pak Arief. Matanya menatap kosong ke arah halaman tempat beberapa lansia lain sedang berjemur di bawah sinar matahari pagi. Senyumnya tipis, hampir tak terlihat. Ia tak menangis. Bukan karena kuat, tapi karena air matanya sudah habis sejak bertahun-tahun lalu.
Sejak suaminya pergi entah ke mana, meninggalkan ia sendirian dengan tiga anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dan makanan sehari-hari. Sejak ia harus bekerja siang malam, menggadaikan perhiasan warisan neneknya untuk biaya sekolah anak-anak. Sejak ia menahan lapar demi anak-anaknya bisa makan tiga kali sehari.
Dulu, rumah kecil mereka selalu ramai. Suara tawa anak-anak, ocehan mereka tentang pelajaran sekolah, keluhan tentang guru yang galak. Mbah Nasikah—yang saat itu masih muda dan kuat—selalu mendengarkan dengan sabar sambil menyiapkan makan malam atau memperbaiki baju seragam yang robek.
“Bu, capek nggak sih kerja terus?” pernah tanya si bungsu, F, saat masih kelas tiga SD.
“Nggak, sayang. Bu nggak pernah capek kalau untuk kalian,” jawab Mbah Nasikah sambil mengusap kepala putrinya.
Sekarang, F sudah dewasa. Sudah menikah, punya rumah sendiri, mobil sendiri, kehidupan sendiri. Tapi pertanyaan polos masa kecilnya itu ternyata sudah ia lupakan, beserta jawabannya.
Anak laki-lakinya, si sulung yang dulu paling rajin membantu ibunya, telah pergi lebih dulu. Kecelakaan motor lima tahun lalu. Saat itu, Mbah Nasikah menangis sampai matanya bengkak, tapi SR dan F sibuk dengan urusan pemakaman dan warisan. Tak ada yang melihat bagaimana ibunya memeluk foto sang anak setiap malam.
“Mungkin memang sudah saatnya Bu tinggal di sini,” kata SR sambil menandatangani kertas terakhir. Suaranya bergetar sedikit. “Kami sudah repot dengan pekerjaan masing-masing.”
Pak Arief mengangguk dengan berat hati. Ia sudah mengelola panti ini cukup lama untuk mengerti bahwa setiap keluarga punya cerita dan alasan masing-masing. Tapi tetap saja, hatinya sesak melihat seorang ibu yang diserahkan seperti ini.
Setelah SR dan F pamit dengan ciuman singkat di pipi ibunya—ciuman yang terasa hambar dan terpaksa—Mbah Nasikah duduk sendirian di kamarnya yang baru. Kamar sederhana dengan satu tempat tidur, satu lemari kecil, dan jendela yang menghadap ke halaman belakang.
Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan beberapa barang. Foto keluarga yang sudah pudar, di mana ia tersenyum bahagia bersama ketiga anaknya yang masih kecil. Obat-obatan untuk berbagai penyakit tua yang mulai menyerangnya. Dan sebuah tasbih lusuh yang selalu menemaninya dalam doa-doa malam.
Malam pertama di panti itu, Mbah Nasikah berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Ia teringat doa-doa yang biasa ia panjatkan untuk anak-anaknya. Doa agar mereka sehat, sukses, bahagia. Doa agar mereka menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
Sekarang, ia tak tahu lagi harus mendoakan apa untuk mereka.
Di rumahnya yang dulu—yang kini sudah bukan rumahnya lagi—SR dan F mungkin sedang menonton televisi dengan tenang. Tak ada lagi suara batuk-batuk di malam hari yang mengganggu tidur mereka. Tak ada lagi bau minyak kayu putih yang menyengat. Tak ada lagi teriakan lemah, “SR… F… tolong ambilkan air…” di tengah malam.
Tapi entah mengapa, rumah itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Mbah Nasikah bangun pagi, sholat, sarapan bersama penghuni panti lainnya, lalu duduk di beranda sambil menatap jalan. Kadang ia berharap ada mobil yang berhenti, ada yang turun dan memanggil namanya dengan suara familiar.
Tapi mobil-mobil itu terus lewat tanpa berhenti.
Pak Arief sering mengajaknya berbincang. Ia orang yang baik hati, begitu juga para perawat di panti itu. Mereka merawat Mbah Nasikah dengan penuh kasih sayang. Tapi tetap saja, ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh siapa pun.
Kekosongan seorang ibu yang ingin merasakan pelukan anak kandungnya sekali lagi.
Satu-satunya yang masih setia menemaninya adalah tasbih lusuh itu. Setiap malam, ia memegangnya sambil berbisik, “Ya Allah, ampuni aku jika aku pernah berbuat salah pada anak-anakku. Tapi jika mereka yang berbuat salah, berikanlah mereka hidayah…”
Doa itu ia ulang setiap malam. Kadang dengan air mata, kadang dengan hati yang sudah mati rasa.
Bulan-bulan berlalu. Mbah Nasikah semakin kurus dan lemah. Dokter bilang tekanan darahnya sering naik turun. Jantungnya juga mulai bermasalah. Pak Arief beberapa kali ingin menghubungi SR dan F, tapi ia teringat perjanjian yang mereka tandatangani.
“Jangan kabari mereka jika ibu meninggal.”
Kalimat itu terasa seperti kutukan yang menghantui Pak Arief setiap hari.
Suatu malam, Mbah Nasikah terbangun karena sesak napas. Ia meraih tasbihnya dan mulai berzikir pelan. Dadanya naik turun dengan berat. Ia tahu, mungkin ini saatnya.
Dalam kegelapan kamar itu, ia berbisik untuk terakhir kalinya, “Ya Allah, terimalah aku di sisi-Mu. Maafkanlah aku dan anak-anakku…”
Keesokan harinya, para perawat menemukan Mbah Nasikah telah tenang dalam tidurnya yang terakhir. Wajahnya tampak damai, seperti orang yang akhirnya menemukan ketenangan setelah bertahun-tahun menderita.
Pak Arief berdiri di samping ranjangnya sambil menahan tangis. Ia menatap kertas perjanjian itu sekali lagi, lalu merobeknya dan membuangnya ke tempat sampah.
“Maafkan saya, Bu. Saya akan menghubungi anak-anak Ibu,” bisiknya.
Tapi ketika ia menelepon SR dan F, nomor mereka sudah tidak aktif. Mereka sudah pindah, entah ke mana.
Mbah Nasikah dimakamkan dengan sederhana. Hanya Pak Arief, beberapa perawat, dan sesama penghuni panti yang mengantarnya ke pemakaman umum. Tak ada anak yang menangis di pusaranya. Tak ada cucu yang menaburkan bunga.
Tapi anehnya, banyak orang yang tidak mengenalnya datang melayat. Mereka yang mendengar ceritanya dari media sosial. Mereka yang terharu dan marah pada SR dan F. Mereka yang datang karena merasa, entah bagaimana, Mbah Nasikah adalah ibu mereka juga.
Di suatu tempat, SR mungkin sedang mengelap meja makannya sambil bergumam bahwa rumah terasa lebih bersih sekarang. F mungkin sedang mengantar anaknya les piano sambil tersenyum bangga karena bisa memberikan yang terbaik untuk buah hatinya.
Mereka tidak tahu bahwa ibu yang melahirkan mereka, yang menyusui mereka, yang begadang saat mereka sakit, yang menjual emas untuk biaya sekolah mereka, telah pergi dalam kesendirian.
Mereka tidak tahu bahwa doa terakhir ibunya bukan kutukan, tapi ampunan.
Dan mereka tidak tahu bahwa suatu hari, ketika mereka sudah tua dan lemah, anak-anak mereka mungkin akan berkata, “Ayah, Ibu, kami sudah repot dengan pekerjaan masing-masing…”
Lingkaran kehidupan akan berputar. Karma akan kembali.
Tapi Mbah Nasikah, ia sudah tenang di sisi Allah. Di tempat di mana tidak ada lagi air mata, tidak ada lagi penolakan, tidak ada lagi kesendirian.
Di tempat di mana doa-doa seorang ibu akhirnya didengar.
—
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
*(QS. Al-Isra: 23)*