Sebuah refleksi mendalam tentang tradisi merayakan hari kelahiran dan pandangan syariat Islam terhadap praktik yang telah menjadi budaya populer ini


PUNGGAWANEWS, Di era modern ini, perayaan ulang tahun telah menjadi ritual yang hampir tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat urban. Kue tart dengan lilin, lagu “Happy Birthday”, dan berbagai bentuk perayaan lainnya seakan menjadi kewajiban sosial yang sulit dihindari. Namun, bagi umat Islam yang ingin menjalani kehidupan sesuai tuntunan syariat, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana Islam memandang tradisi ini?

Akar Budaya yang Tidak Islami

Menurut kajian para ulama kontemporer, perayaan ulang tahun bukanlah bagian dari tradisi Islam. Praktik ini berakar dari budaya Barat yang kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara Muslim. Bahkan istilah “ulang tahun” sendiri merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “birthday” yang menunjukkan asal-usul tradisi ini.

Yang menarik, dalam penelusuran sejarah Islam klasik, tidak ditemukan satu pun catatan tentang Nabi Muhammad SAW atau para sahabatnya yang merayakan hari kelahiran. Bahkan untuk menentukan tanggal kelahiran Nabi sendiri, para ulama berbeda pendapat—ada yang menyebut tanggal 8, 9, atau 12 Rabiul Awal, bahkan ada pendapat yang menyebutkan beliau lahir di bulan Ramadhan.

Filosofi Waktu dalam Islam

Islam memiliki pandangan filosofis yang unik tentang berlalunya waktu. Alih-alih menjadikan bertambahnya usia sebagai momen perayaan, Islam justru mengajarkan untuk merefleksikan makna di balik perjalanan waktu.

“Setiap tahun yang berlalu sebenarnya adalah pengurangan jatah hidup kita di dunia,” ungkap salah satu ustaz dalam kajiannya. “Kita semakin mendekati akhir perjalanan, semakin dekat dengan kematian. Lalu, apa yang hendak dirayakan?”

Perspektif ini mengubah paradigma dari “celebrating” menjadi “reflecting”—dari merayakan menjadi merenung. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda kepada sahabatnya Ibnu Umar: “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau seorang musafir.”

Analoginya sederhana namun mendalam: kita adalah musafir yang singgah sejenak di bawah pohon untuk beristirahat, kemudian melanjutkan perjalanan. Dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan tempat persinggahan sementara.

Bahaya Tasyabbuh: Meniru Tradisi Non-Muslim

Salah satu aspek penting yang ditekankan para ulama adalah konsep tasyabbuh—menyerupai atau meniru gaya hidup orang-orang non-Muslim. Rasulullah SAW memperingatkan dengan tegas: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud)

Peringatan ini bukan tanpa alasan. Islam memiliki identitasnya sendiri, termasuk dalam hal perayaan. Ketika Nabi tiba di Madinah dan mendapati penduduknya memiliki dua hari perayaan tradisional, beliau melarang dan menggantinya dengan yang lebih baik: Idul Fitri dan Idul Adha.

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari perayaan kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri,” sabda Rasulullah SAW.

Ini menunjukkan bahwa hari-hari perayaan dalam Islam sudah ditentukan dan tidak boleh ditambah dengan perayaan yang bersumber dari tradisi lain.

Dilema Orang Tua Muslim Modern

Banyak orang tua Muslim masa kini menghadapi dilema: bagaimana cara menunjukkan kasih sayang kepada anak tanpa harus mengadakan perayaan ulang tahun seperti yang dilakukan teman-teman sekolah mereka?

Para ulama memberikan solusi yang elegan: ekspresikan kasih sayang dan doa kapan saja, tidak harus menunggu hari kelahiran. Mendoakan anak, memberikan nasihat, dan mengapresiasi pertumbuhannya adalah hal yang sangat baik—namun tidak perlu dikaitkan dengan ritual tahunan yang tidak memiliki dasar syariat.

“Ketika melihat anak sudah tumbuh besar, katakan saja: ‘Masya Allah, kamu sudah besar, Nak. Seharusnya kamu semakin baik.’ Doakan dia, beri nasihat—ini tidak masalah dan sangat dianjurkan. Yang tidak perlu adalah menjadikannya ritual khusus setiap tahun,” jelas seorang narasumber kajian.

Tradisi Lama yang Mulai Hilang

Menariknya, generasi terdahulu di Indonesia hampir tidak ada yang menghafal tanggal kelahiran mereka dengan tepat. Ketika ditanya kapan lahir, jawaban yang muncul biasanya dikaitkan dengan peristiwa besar: “Waktu Belanda agresi militer kedua” atau “Saat masa tanam padi” atau “Waktu gunung meletus.”

Fenomena ini bukan karena kebodohan, melainkan karena budaya yang berbeda. Masyarakat dulu tidak terlalu memperhatikan tanggal kelahiran spesifik karena memang tidak ada kepentingan ritual terhadapnya. Yang tercatat di KTP pun sering kali hanyalah perkiraan.

Perubahan mulai terjadi ketika pengaruh Barat masuk. Tiba-tiba mengetahui dan menghafal tanggal kelahiran menjadi penting, bahkan menjadi tolok ukur “kemodernan.”

Kapan Perlu Mengetahui Tanggal Lahir?

Bukan berarti Islam mengabaikan pentingnya mengetahui tanggal kelahiran. Ada beberapa aspek syariat yang memerlukan informasi usia:

  1. Masa baligh – Menentukan kapan seorang anak dianggap dewasa secara syariat
  2. Kewajiban shalatAnak mulai diajarkan shalat di usia 7 tahun
  3. Sanksi edukatif – Boleh memberikan teguran tegas (tidak menyakiti) jika anak tidak shalat setelah usia 10 tahun
  4. Kewajiban sosial – Seperti doa untuk kedua orang tua yang dimulai intensif setelah usia 40 tahun

Jadi, mengetahui tanggal lahir untuk keperluan administratif dan ibadah adalah hal yang baik. Yang tidak dianjurkan adalah menjadikannya momentum perayaan tahunan.

Logika Sederhana yang Sering Terlupakan

Para ulama sering mengajukan pertanyaan retoris yang sederhana namun mengena: “Jika tidak merayakan ulang tahun, apa yang hilang? Apakah umur menjadi pendek? Apakah tubuh menjadi tidak sehat? Apakah rezeki berkurang?”

Jawabannya tentu saja: tidak ada yang berubah. Sebaliknya, dengan tidak mengikuti tradisi yang bukan dari ajaran Islam, seseorang justru menjaga kemurnian praktik keagamaannya.

Alternatif Islami: Syukur Setiap Saat

Jika ada yang berargumen bahwa perayaan ulang tahun adalah bentuk syukur atas nikmat umur yang diberikan Allah, maka Islam punya jawaban yang lebih baik: bersyukurlah setiap hari, bukan hanya setahun sekali.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan amal (ibadah) yang bukan berasal dari (ajaran) kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami, yang tidak ada asal usulnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Berbuat kebid’ahan bukanlah perkara yang remeh dan ringan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam pelakunya dengan neraka, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ، إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An-Nasa’i no. 1578, shahih)

Selain itu, syariat Islam telah menetapkan hari-hari tertentu sebagai hari ‘id, yaitu hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah), hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah), hari tasyrik (11, 12 dan 13 Dzulhijjah), hari raya ‘Idul Fithri (1 Syawwal), dan hari Jum’at (untuk setiap pekan). Hari ‘id adalah hari tertentu yang dirayakan secara berulang dengan menampakkan kegembiraan dan sejenisnya.

Bersedekah, berbuat baik, beribadah dengan khusyuk—ini semua adalah wujud syukur yang lebih bermakna daripada ritual tahunan yang tidak memiliki landasan syariat. Bahkan jika ingin mengukur waktu, Islam mengajarkan konsep “ulang detik” bukan “ulang tahun”—karena setiap detik adalah anugerah dan kita tidak pernah tahu kapan malaikat maut akan datang.

Kisah Kesederhanaan Rasulullah

Suatu ketika, Rasulullah SAW bangun tidur dengan bekas anyaman tikar menempel di tubuhnya. Para sahabat yang melihat hal itu merasa iba dan menawarkan kasur yang lebih empuk. Namun Rasulullah menolak dengan bijaksana:

“Ada urusan apa aku dengan dunia ini? Tidaklah aku di dunia kecuali seperti seorang musafir yang mampir sejenak di bawah pohon, beristirahat sebentar, kemudian melanjutkan perjalanan.”

Ini adalah pelajaran tentang prioritas. Jika Nabi saja yang dijamin surga tidak terlalu ambil pusing dengan kenikmatan dunia, bagaimana dengan kita yang masih dipenuhi dosa dan kekurangan?

Ketika Hutang Masih Menumpuk

Para ulama salaf bahkan memiliki standar yang sangat tinggi tentang prioritas hidup. Mereka mengatakan: “Orang yang memiliki hutang tidak pantas makan daging.”

Maksudnya bukan larangan mutlak, melainkan prioritas. Seseorang yang masih punya tanggungan hutang seharusnya fokus menyelesaikannya terlebih dahulu, bukan malah menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak mendesak seperti perayaan ulang tahun.

Ini adalah refleksi penting di tengah gaya hidup konsumtif modern: apakah kita sudah menyelesaikan kewajiban-kewajiban dasar sebelum menikmati hal-hal yang bersifat hiburan?

Bagaimana Menyikapi Undangan Ulang Tahun?

Pertanyaan praktis yang sering muncul: “Bagaimana jika diundang ke acara ulang tahun teman atau keluarga yang Muslim?”

Para ulama menyarankan untuk tidak hadir jika memungkinkan, atau setidaknya tidak ikut dalam ritual-ritual seperti meniup lilin, menyanyikan lagu ulang tahun, atau hal-hal yang menjadi ciri khas perayaan non-Islami. Jika kehadiran tidak bisa dihindari karena alasan tertentu, sebaiknya memberikan pemahaman dengan bijaksana kepada yang mengundang.

Pendidikan untuk Generasi Muda

Tantangan terbesar adalah bagaimana mendidik generasi muda yang tumbuh di tengah budaya perayaan ulang tahun yang sudah sangat masif. Anak-anak sering merasa “berbeda” atau “kurang” ketika tidak merayakan ulang tahun seperti teman-temannya.

Di sinilah peran orang tua dan pendidik Muslim sangat krusial:

  1. Berikan pemahaman sejak dini tentang mengapa keluarga Muslim tidak merayakan ulang tahun
  2. Tawarkan alternatif yang menarik seperti acara kumpul keluarga, piknik, atau kegiatan edukatif lainnya—tidak harus dikaitkan dengan tanggal lahir
  3. Ajarkan kebanggaan pada identitas Islam sehingga anak tidak merasa minder dengan perbedaan
  4. Fokus pada kualitas hubungan, bukan seremonial—tunjukkan kasih sayang setiap hari, bukan hanya setahun sekali

Kesimpulan: Hidup dengan Kesadaran

Pada akhirnya, diskusi tentang perayaan ulang tahun dalam Islam bukan sekadar soal halal-haram dalam pengertian teknis. Ini adalah tentang kesadaran hidup sebagai seorang Muslim yang ingin menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan Nabi.

Setiap tahun yang berlalu seharusnya menjadi momentum introspeksi: Sudahkah amalan kita bertambah? Sudahkah kita menjadi pribadi yang lebih baik? Sudahkah hutang-hutang kita terlunasi—baik hutang kepada sesama manusia maupun hutang kepada Allah berupa ibadah yang tertunda?

Jika jawaban masih banyak yang belum, maka tidak ada yang patut dirayakan. Yang ada adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, meningkatkan kualitas ibadah, dan mempersiapkan bekal untuk perjalanan yang sesungguhnya—pulang ke kampung halaman yang sejati, yaitu surga.

Sebagaimana yang diajarkan Rasulullah: kita hanyalah musafir. Dan musafir yang bijak tidak akan terlalu sibuk dengan perhentian sementara. Ia akan mempersiapkan perbekalan terbaik untuk tujuan akhir yang abadi.


Wallahu a’lam bishawab. Semoga Allah memberikan kita pemahaman yang benar tentang agama dan kekuatan untuk menjalankannya di tengah gempuran budaya modern yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Artikel ini disusun berdasarkan kajian-kajian ulama kontemporer dan ditujukan untuk memberikan perspektif Islami terhadap fenomena sosial yang telah menjadi bagian dari gaya hidup modern.

Sumber

_________________________________

Dapatkan Update Berita Terkini dari PUNGGAWANEWS, PUNGGAWALIFE, PUNGGAWASPORT, PUNGGAWATECH, PUNGGAWAFOOD,
Klik Disini jangan Lupa Like & Follow!
__________________________________