PUNGGAWANEWS – Langit malam di sebuah desa Jawa Timur belum gelap sepenuhnya ketika iring-iringan truk mulai bergerak. Bukan truk logistik atau kendaraan bantuan. Tapi truk bermuatan sound system raksasa yang disulap menjadi panggung keliling, lengkap dengan DJ, lampu kelap-kelip, dan dentuman musik remix yang mengguncang aspal desa.
Inilah sound horeg keliling, sebuah fenomena baru yang berkembang cepat di pedesaan. Alih-alih hanya di tenda hajatan, kini hiburan bergerak. Truk bermuatan speaker super besar menyusuri jalanan kampung, dari gang sempit hingga lapangan terbuka. Anak-anak muda mengekor dengan sepeda motor, berjoget di pinggir jalan, dan bersorak mengikuti irama. Sebuah pawai akustik tanpa permisi, tapi penuh energi.
Tapi tidak semua warga bersorak. Di balik jendela yang tertutup, seorang lansia mengerutkan kening. Seorang ibu menutup telinga bayinya. Seorang guru menghela napas karena besok pagi harus mengajar. Dan seorang anak muda yang ingin membaca Al-Qur’an malam itu, memilih menunda.
Suara Bergerak, Dialog Menghilang
Sound horeg keliling memang menyenangkan bagi sebagian warga, terutama remaja dan pemuda yang mendambakan hiburan murah dan spektakuler. Tapi ketika suara berpindah dari satu dusun ke dusun lain, yang tertinggal adalah jejak kebisingan, bukan jejak kesepakatan.
Tak ada ruang untuk bertanya: Apakah semua warga setuju? Apakah waktu sudah tepat? Apakah desa memiliki aturan? Karena sound horeg keliling biasanya berjalan begitu saja, tanpa musyawarah, tanpa informasi, dan tanpa refleksi.
Di sinilah kita melihat simbol pergeseran budaya desa yang makin nyata. Suara boleh bebas, tapi tak lagi berbasis nilai-nilai lokal. Yang kuat bukan lagi suara pemuka adat atau sesepuh desa, tapi siapa yang bisa menyewa speaker paling keras dan truk paling terang.
Kepemimpinan yang Kian Diam
Dulu, sebelum ada arak-arakan semacam ini, suara-suara warga disampaikan lewat musyawarah. Para kepala dusun, tokoh agama, dan sesepuh menjadi penjaga nilai. Mereka menjaga waktu malam tetap tenang, menjaga batas antara hiburan dan hak istirahat. Tapi kini, banyak dari mereka justru memilih diam.
Kepemimpinan komunal mengalami kemunduran. Pemerintah desa gamang. Jika pemerintah desa bersikap tegas, mereka akan dicap tak berpihak pada rakyat kecil. Dan banyak yang bersikap diam, menjadi saksi keluhan warga yang tak tersampaikan. Dalam situasi seperti ini, suara-suara kecil tidak hanya terpinggirkan, tapi benar-benar hilang.
Truk Melaju, Partisipasi Mandek
Iring-iringan truk sound system yang melaju keliling desa sesungguhnya menunjukkan minimnya forum diskusi sosial yang sehat. Tidak semua warga tahu, apalagi menyetujui. Bahkan banyak yang tidak tahu acara ini akan berlangsung. Yang punya acara dan panitia mungkin sudah membuat kesepakatan sendiri, tapi masyarakat luas dibiarkan menjadi penonton bahkan mereka menjadi korban.
Partisipasi warga tak hanya merosot, tapi seolah tak dianggap penting. Bahkan generasi muda yang ikut euforia pun, sejatinya tidak merasa menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Mereka hanya penikmat, bukan pemilik ruang.
Perlu Jalan Tengah: Bukan Dilarang, Tapi Diatur Bersama
Sound horeg keliling bukan musuh. Ia bagian dari ekspresi budaya baru, ruang aktualisasi remaja, dan bentuk kebersamaan dalam versi berbeda. Tapi bila dibiarkan tanpa aturan, ia bisa menciptakan konflik sosial jangka Panjang antar generasi, antar tetangga, bahkan dalam rumah tangga.
Solusinya bukan pelarangan sepihak, tapi pembentukan kesepakatan bersama. Pemerintah desa perlu menyusun regulasi lokal yang adil: batas jam operasional (misalnya maksimal pukul 22.00), rute truk yang disepakati, hari-hari tertentu untuk acara, dan mekanisme aduan warga yang real time. Perdes (Peraturan Desa) bisa menjadi alat hukum sosial, asal dirumuskan bersama dan bukan dipaksakan.
Lebih dari itu, kita perlu membangkitkan kembali forum warga. RT, RW, karang taruna, dan tokoh lintas usia harus duduk bersama, bicara dari hati, bukan dari pengeras suara. Karena hanya dengan begitu, kita bisa menghidupkan kembali semangat gotong royong yang sejati.
Desa yang Tidak Tuli, Desa yang Mendengarkan
Dentuman sound horeg keliling adalah suara zaman. Tapi jangan sampai kita membiarkan desa menjadi tuli terhadap suara warganya sendiri. Yang kita perlukan bukan hanya speaker yang kuat, tapi ruang bicara yang sehat. Bukan hanya truk yang melaju, tapi pemimpin yang hadir.
Desa bisa meriah dan tetap damai. Hiburan bisa jalan, istirahat warga tetap dihargai. Tapi itu semua hanya bisa tercapai kalau kita kembali ke nilai dasar desa: musyawarah, rasa hormat, dan saling mendengarkan.
Karena dalam komunitas, suara yang didengarkan jauh lebih penting daripada suara yang sekadar terdengar.

Oleh :
Fajar Lingga Prasetya.,S.AB
Analis Kebijakan Ahli Pertama
Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan (Pusjar SKMP) LAN
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.