Ahmad memandang kalender di ponselnya. 27 Juni 2025. Besok sudah 1 Muharram, tapi tak ada yang istimewa di media sosialnya. Timeline dipenuhi persiapan konser artis internasional yang akan tampil di Jakarta minggu depan. Ia tersenyum miris.

“Lagi-lagi,” gumamnya sambil meletakkan ponsel di nakas.

Malam itu, Ahmad tertidur dengan gelisah. Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah padang pasir yang luas. Di kejauhan, terlihat sekelompok orang berjalan perlahan. Mereka tampak lelah, namun mata mereka bersinar penuh harapan.

“Kemarilah, nak,” suara seseorang memanggilnya.

Ahmad menghampiri. Seorang pria berjenggot putih tersenyum kepadanya. “Kau tahu siapa kami?”

Ahmad menggeleng. Pria itu menunjuk ke arah perjalanan mereka. “Kami sedang hijrah. Meninggalkan tanah yang menindas menuju tempat yang menjanjikan kebebasan.”

“Hijrah?” Ahmad teringat pelajaran sejarah di sekolah.

“Ya, hijrah. Bukan sekadar pindah tempat, nak. Ini tentang mengubah nasib, membangun peradaban baru.” Mata pria itu menatap tajam. “Sekarang, di zamanmu, umatku masih mengerti makna hijrah?”

Ahmad terdiam. Ia teringat bagaimana teman-temannya di grup WhatsApp lebih antusias membahas jadwal konser daripada 1 Muharram. Teringat bagaimana berita Gaza tenggelam dalam hiruk-pikuk gosip artis. Teringat bagaimana masjid di komplek rumahnya sepi saat ceramah, namun ramai saat ada bazaar.

“Sepertinya tidak, Paman,” jawab Ahmad jujur.

Pria itu menghela napas. “Dulu, hijrah kami memulai kebangkitan peradaban. Dari yang tertindas, kami menjadi pemimpin. Dari yang tidak berdaya, kami menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Tapi sekarang…”

“Sekarang apa?”

“Sekarang umatku hijrah dari masjid ke mall, dari dzikir ke drama, dari ukhuwah ke ujaran kebencian di media sosial.”

Ahmad merasakan sesak di dada. Dalam mimpi itu, ia melihat kilasan masa lalu yang gemilang dan kenyataan masa kini yang memprihatinkan. Ia melihat bagaimana anak-anak di Gaza menangis, sementara umat di negara-negara kaya sibuk mengupdate status tentang makanan mewah. Ia melihat bagaimana para pemimpin lebih sering muncul di acara glamor ketimbang memimpin solusi untuk saudara-saudara yang menderita.

“Tapi bagaimana caranya, Paman? Kami ini generasi yang tumbuh dengan kemudahan. Segalanya instan, segalanya mudah.”

Pria itu tersenyum lembut. “Hijrah dimulai dari hati, nak. Dari niat untuk berubah. Dulu kami hijrah dengan kaki, sekarang kalian bisa hijrah dengan hati dan tindakan. Hijrah dari malas menjadi rajin, dari egois menjadi peduli, dari consumtive menjadi produktif.”

“Lalu, kalau saya mau mulai hijrah, dari mana?”

“Mulai dari dirimu sendiri. Ubah cara pandangmu terhadap hidup. Kalau biasanya Tahun Baru Hijriah hanya lewat begitu saja, sekarang jadikan momen refleksi. Kalau biasanya lebih tertarik konten hiburan, mulai cari konten yang mencerdaskan. Kalau biasanya hanya mengeluh tentang keadaan umat, mulai lakukan sesuatu, sekecil apapun.”

Ahmad merasakan air mata mengalir di pipinya, bahkan dalam mimpi. “Saya ingin berubah, Paman. Tapi rasanya berat sekali.”

“Tentu berat, nak. Hijrah pertama juga berat. Tapi lihatlah hasilnya.” Pria itu menunjuk ke arah Madinah yang tampak di kejauhan, bersinar indah. “Dari kesulitan itu lahir peradaban yang menginspirasi dunia hingga hari ini.”

Ahmad terbangun dengan keringat dingin. Ia melirik jam di ponsel: 03.30. Waktu sahur sudah dekat. Tapi kali ini, ia tidak bangun karena alarm, melainkan karena sesuatu telah berubah dalam hatinya.

Ia mengambil wudhu dan shalat tahajud. Setelah itu, ia duduk merenung. Mimpi tadi terasa begitu nyata. Seolah-olah ia benar-benar diingatkan tentang makna sejati Tahun Baru Hijriah.

Ahmad membuka catatan di ponselnya dan mulai menulis:

“Resolusi 1 Muharram 1447 H:
1. Kurangi scroll media sosial yang tidak bermanfaat
2. Perbanyak baca sejarah Islam dan Al-Quran
3. Sisihkan sebagian uang jajan untuk donasi Palestine dan yang membutuhkan
4. Aktif di kajian masjid komplek
5. Ajak teman-teman diskusi tentang isu-isu umat, bukan hanya gosip artis”

Ia tersenyum. Mungkin hijrah zaman sekarang tidak seperti berjalan dari Mekah ke Madinah, tapi bisa dimulai dari perpindahan mindset, dari perubahan prioritas hidup, dari transformasi diri menjadi pribadi yang lebih bermanfaat.

Ketika adzan subuh berkumandang, Ahmad sudah siap dengan tekad baru. Hari ini, 1 Muharram 1447 H, adalah hari pertama hijrahnya yang baru. Bukan hijrah fisik, tapi hijrah spiritual yang semoga bisa menginspirasi orang-orang di sekitarnya.

“Selamat Tahun Baru Hijriah,” bisiknya sambil berjalan ke masjid. “Semoga kali ini benar-benar menjadi tahun perubahan.”

Di masjid yang pagi itu tampak lebih ramai dari biasanya, Ahmad bertemu dengan beberapa pemuda lain yang sepertinya juga membawa semangat yang sama. Mungkin ia tidak sendirian dalam hijrah kecil-kecilan ini. Mungkin perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil seperti ini.