Di beberapa daerah, masyarakatnya sedang dihadapkan pada kenyataan pahit, yakni Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak hingga ratusan persen. Di Kabupaten Pati, kenaikan PBB mencapai 250%. Pembaruan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) membuat tagihan pajak melambung, bahkan untuk rumah yang tidak mengalami perubahan fisik sama sekali. Wajar jika keluhan bermunculan, unjuk rasa terjadi, dan rapat-rapat DPRD menjadi panas.
PBB sejatinya merupakan instrumen fiskal untuk menghimpun dana pembangunan daerah. Namun, ketika kebijakannya tak sensitif terhadap daya beli rakyat, PBB dapat berubah menjadi alat yang menguji batas kesabaran publik. Pasca diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian disempurnakan melalui UU HKPD Nomor 1 Tahun 2022, PBB untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pemda berhak menetapkan tarif, mengatur proses penilaian, dan memperbarui NJOP.
Dalam praktiknya, kenaikan PBB sering terjadi karena pembaruan NJOP yang dianggap “menyesuaikan harga pasar”. Dalam ilmu akuntansi, nilai pasar memang bisa menjadi rujukan, tetapi masalah muncul ketika “harga pasar” itu tidak merefleksikan kemampuan bayar masyarakat. Banyak warga yang “kaya di kertas” karena tanah dan rumahnya bernilai tinggi tetapi “miskin di dompet” karena penghasilan mereka stagnan.





Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.