PUNGGAWANEWS – Selama puluhan tahun, Lembaga Administrasi Negara (LAN) dikenal sebagai “mesin pelatihan” birokrasi Indonesia, menjadi rumah bagi transformasi ASN. Melalui berbagai program pelatihan, LAN mencetak birokrat yang siap melayani, menyiapkan pemimpin teknis yang sigap menjalankan tugas, membangun kapasitas strategis untuk menyelaraskan visi program dengan organisasi, serta membentuk pemimpin birokrasi yang mampu merumuskan kebijakan dan memimpin perubahan lintas sektor demi pelayanan publik yang berdampak.
Namun, saat ini kita berada dalam era disrupsi teknologi, pergeseran nilai sosial, serta kompleksitas kebijakan publik yang semakin tidak linear. Teknologi seperti artificial intelligence (AI), big data, dan platform digital telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan pemerintah. Tantangan publik pun semakin bersifat multidimensi. Dalam lanskap baru ini, kapasitas ASN tidak cukup lagi dibentuk hanya melalui pelatihan konvensional yang bersifat satu arah.
Perubahan era membuat LAN dituntut melampaui perannya sebagai penyelenggara pelatihan dan menjelma menjadi pusat pengetahuan kebijakan publik nasional atau policy knowledge hub yang mampu mengorkestrasi sumber daya pengetahuan, data, inovasi kebijakan, serta kolaborasi lintas sektor. LAN harus menjadi penggerak perubahan birokrasi, bukan sekadar fasilitator pelatihan. LAN perlu mengintegrasikan fungsi Analisis kebijakan strategis, pengembangan model kebijakan, dan transfer pengetahuan kebijakan ke dalam ekosistem pembelajaran ASN yang adaptif, kolaboratif, dan berbasis pada tantangan nyata. Dalam konteks ini, LAN memiliki keunggulan tersendiri sebagai institusi pembina Analis Kebijakan (AK). Potensi besar ini seharusnya dimanfaatkan untuk mengonsolidasikan dan mengoptimalkan peran AK dalam merancang kebijakan publik yang lebih berkualitas, responsif, dan berbasis data
Dalam dunia baru yang menuntut kecepatan, kolaborasi, dan ketajaman analisis, LAN tidak bisa berjalan sendiri. Ia harus membuka diri sebagai ruang kolaboratif bagi para pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, peneliti, inovator, dan masyarakat sipil. Dengan demikian, LAN tidak hanya menjadi rumah bagi pelatihan ASN, tetapi menjadi jantung pemikiran strategis birokrasi masa depan Indonesia.
Di tengah kompleksitas tata kelola pemerintahan dan disrupsi digital yang masif, tuntutan terhadap kualitas kebijakan publik semakin tinggi. Indonesia membutuhkan birokrasi yang tidak hanya adaptif secara teknologi, tetapi juga cerdas secara kebijakan. Dalam konteks ini, Lembaga Administrasi Negara (LAN) memiliki tanggung jawab strategis untuk menjadi penggerak utama ekosistem pengetahuan kebijakan nasional.
LAN Sedang Bergerak ke Arah yang Tepat
Perlu diakui, transformasi sudah terlihat. LAN tidak tinggal diam. Dalam beberapa tahun terakhir, LAN mulai membangun berbagai inisiatif yang mencerminkan peran barunya:
- LAN Datathon membuka ruang bagi ASN muda untuk membaca dan mengolah data, serta menerjemahkannya menjadi solusi kebijakan yang lebih presisi.
- Public Lecture dengan menghadirkan pemikir-pemikir besar, baik nasional maupun internasional, memberikan warna baru dalam proses belajar ASN.
- Berbagai platform digital dan e-learning mulai dikembangkan untuk memperluas akses pembelajaran ke seluruh penjuru Indonesia.
Semua ini adalah langkah awal. LAN sedang berubah menjadi penggerak ekosistem pembelajaran kebijakan. Ia mulai menjadi ruang interaksi, kolaborasi, dan co-creation lintas instansi.
Transformasi ini juga sejalan dengan mandat nasional untuk membangun ASN Corporate University (ASN Corpu) sebuah sistem pembelajaran ASN yang terintegrasi, relevan, dan berkelanjutan. LAN memiliki posisi strategis sebagai center of excellence, yang dapat memandu kementerian/lembaga dan pemda dalam membangun pembelajaran ASN yang kontekstual dan adaptif.
Agar LAN benar-benar menjadi pusat pembelajaran kebijakan ASN secara nasional yang merupakan bagian penting dari pembangunan ASN Corporate University, beberapa langkah konkret bisa dilakukan:
1. Bangun “Laboratorium Inovasi Kebijakan”

Selama ini, LAN telah dikenal melalui keberadaan Laboratorium Inovasi yang aktif memfasilitasi eksperimen inovasi pelayanan publik, mendorong praktik-praktik baru yang berdampak langsung bagi masyarakat. Namun, tantangan birokrasi ke depan bukan hanya soal layanan yang cepat, tapi juga kebijakan yang tepat. Maka, akan sangat strategis jika fungsi laboratorium ini diperluas dan diubah menjadi Laboratorium Inovasi Kebijakan (Policy Innovation Studio), yaitu ruang bersama untuk merancang dan menguji kebijakan secara lebih inklusif dan kontekstual. Laboratorium ini adalah sebuah ekosistem pembelajaran kolaboratif yang mempertemukan berbagai aktor: ASN pusat dan daerah, analis kebijakan, akademisi, pelaku layanan publik, bahkan masyarakat sipil. Di ruang inilah, data, pengalaman lapangan, dan ide-ide segar dipertemukan untuk mengembangkan prototipe kebijakan. Pendekatan ini sejalan dengan semangat pembentukan ASN Corporate University (ASN Corpu) yang tengah dikembangkan oleh LAN: yaitu menciptakan pola pembelajaran yang tidak terfragmentasi, tidak silo, dan memfokuskan pada kolaborasi lintas sektor. Laboratorium inovasi kebijakan dapat menjadi bagian dari strategi ASN Berpijar (https://asn.futureskills.id/fs/). Laboratorium ini juga bisa berfungsi sebagai tempat di mana kebijakan yang masih dalam bentuk gagasan bisa diuji dengan simulasi atau uji coba lapangan dalam skala kecil.
2. Libatkan Analis Kebijakan dalam Pelatihan Kepemimpinan
https://t.co/UJTha8fV9u #LogoHUTRI #LogoHUT80RI
— Punggawa News (@PunggawaNews) July 24, 2025

Dalam berbagai jenjang pelatihan kepemimpinan ASN seperti Pelatihan Dasar (Latsar), Pelatihan Kepemimpinan Pengawas (PKP), Pelatihan Kepemimpinan Administrator (PKA), dan Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN), keterlibatan Analis Kebijakan (AK) perlu diperkuat secara sistematis. Salah satu cara strategis adalah dengan menyisipkan sesi atau modul khusus yang difasilitasi oleh para Analis Kebijakan dari Lembaga Administrasi Negara (LAN), Kementerian/Lembaga, atau Pemerintah Daerah. Sesi ini dapat difokuskan pada eksplorasi isu-isu kebijakan strategis dengan pendekatan berbasis data (evidence-based policy), pemetaan tren global dan regional, serta penggunaan berbagai instrumen dan metode analisis kebijakan modern seperti stakeholder analysis, hingga policy scenario.
Kehadiran AK dalam pelatihan ini tidak hanya bersifat pelengkap, tetapi menjadi faktor penting pendorong untuk membentuk pola pikir sistemik dan analitis bagi para calon pemimpin birokrasi. Melalui peran ini, AK dapat memantik diskusi lintas perspektif yang lebih tajam dan objektif antara perancang dan pelaksana kebijakan, sehingga memperkuat koneksi antara dimensi teknokratis dan operasional dari suatu kebijakan publik. Bahkan, keberadaan AK dapat menghidupkan kembali fungsi “ruang belajar kebijakan” di dalam birokrasi yang selama ini lebih banyak berkutat pada aspek administratif dan prosedural.
Lebih jauh, kolaborasi antara AK dan peserta pelatihan dapat mendorong terwujudnya ekosistem kepemimpinan yang adaptif, berbasis data, dan tidak terjebak dalam mentalitas silo. Pola ini sejalan dengan agenda reformasi birokrasi berbasis digital dan agile governance, di mana kolaborasi antarprofesi ASN seperti Widyaiswara, Pengelola Kinerja, hingga AK menjadi kunci dalam menghasilkan kebijakan yang solutif dan berdampak nyata di lapangan. Langkah ini juga dapat dikaitkan dengan inisiatif platform pembelajaran ASN seperti ASN Berpijar yang diselenggarakan melalui FutureSkills.id, sebagai media kolaboratif untuk mempertemukan pengetahuan praktis kepemimpinan dan analisis kebijakan dalam satu ekosistem digital yang terintegrasi.
3. Dorong Budaya Berbagi dan Kolaborasi Antar Instansi

Salah satu akar persoalan utama dalam birokrasi Indonesia adalah masih kuatnya budaya kerja sektoral (silo mindset) yang memisahkan instansi-instansi pemerintah dalam tembok koordinasi yang kaku. Dalam struktur seperti ini, inovasi seringkali terhambat oleh ketertutupan informasi, ego kelembagaan, dan minimnya ruang untuk berbagi pembelajaran lintas sektor. Akibatnya, upaya menciptakan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) menjadi terfragmentasi, data yang seharusnya
bisa dikonsolidasi lintas unit, justru tersebar dan tidak saling terhubung. Akhirnya, kebijakan yang dihasilkan kerap bersifat parsial dan kurang relevan untuk diterapkan secara luas.
Padahal, lanskap dunia kerja dan tata kelola kebijakan telah berubah secara drastis. Laporan The Future of Jobs 2023 dari World Economic Forum menegaskan bahwa keterampilan kognitif menjadi yang paling utama di tahun 2023, dengan berpikir analitis menempati urutan teratas sebagai keterampilan paling dibutuhkan. Selain itu, keterampilan seperti kreativitas, literasi teknologi, dan kerja sama tim yang mencakup empati, pendengaran aktif, kepemimpinan, hingga pengaruh sosial, masuk dalam daftar sepuluh keterampilan paling krusial. WEF bahkan memproyeksikan bahwa dalam lima tahun ke depan, sekitar 44% dari keterampilan inti para pekerja akan mengalami pergeseran. Artinya, pembelajaran berkelanjutan, kemampuan berpikir kreatif, dan adaptabilitas akan menjadi kunci keberhasilan ASN dalam menghadapi tantangan masa depan.
Sejalan dengan itu, Jacob Morgan dalam konsep “future employee” menyoroti pentingnya budaya berbagi (sharing culture) sebagai lawan dari kecenderungan lama untuk menyimpan pengetahuan secara eksklusif (hoarding). Morgan menekankan bahwa kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi jauh lebih penting dibandingkan dengan pengetahuan statis yang dimiliki saat ini. Dalam pandangannya, setiap pegawai bisa menjadi “pemimpin pengetahuan” di bidangnya, selama organisasi memberikan ruang untuk kontribusi, dialog lintas fungsi, dan pembelajaran yang terbuka.
Dengan realitas tersebut, budaya kolaborasi dan berbagi di kalangan ASN tidak bisa lagi dianggap sekadar nilai tambahan. Ia adalah prasyarat mutlak agar birokrasi bisa bertahan dan relevan di tengah kompleksitas yang terus berkembang. Kolaborasi bukan hanya tentang pertukaran dokumen atau koordinasi formal, tetapi tentang membangun sistem kepercayaan, memfasilitasi kepemimpinan partisipatif, dan menciptakan mekanisme lintas instansi untuk menyelesaikan masalah secara kolektif.
Lembaga Administrasi Negara (LAN) memiliki posisi strategis untuk mendorong budaya ini melalui berbagai instrumen pengembangan kompetensi, platform berbagi pengetahuan, hingga komunitas ASN lintas sektor. LAN bukan hanya tempat belajar, tapi juga seharusnya menjadi jembatan lintas disiplin yang menghubungkan pembuat kebijakan, pelaksana di lapangan, dan pengembang solusi.
Kesimpulan
Saat ini, LAN tidak sedang memulai dari nol. Fondasinya sudah dibangun: Public Lecture, Datathon, ASN Berpijar, dan ribuan alumni pelatihan yang siap menjadi agen perubahan. Tapi untuk benar-benar menjadi rumah belajar kebijakan ASN Indonesia, LAN perlu melangkah lebih jauh dengan cara menyatukan pengetahuan, menggerakkan analis kebijakan, dan membangun ekosistem belajar yang inklusif dan kolaboratif.
Kini saatnya menggeser peran dari sekadar “penyelenggara pelatihan” menjadi penggerak ekosistem pengetahuan kebijakan ASN. Dan ini bukan hanya soal platform digital atau ruang kolaboratif, tapi tentang semangat bersama untuk membangun birokrasi yang terus belajar, berbagi, dan berinovasi demi pelayanan publik yang lebih baik.

Penulis : Fajar Lingga Prasetya
Analis Kebijakan – Pusjar SKMP LAN
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.