OPINI– Belakangan, publik dikejutkan oleh tagihan royalti yang tiba-tiba datang ke berbagai pelaku usaha, mulai dari jaringan kuliner seperti Mie Gacoan, hotel, hingga wacana penarikan royalti di acara pernikahan. Bahkan, kabar bahwa suara rekaman burung pun bisa dikenakan royalti jika diputar di ruang usaha membuat situasi ini semakin “Ramai di Telinga”. Fenomena ini memicu perdebatan: apakah regulasi sudah tepat sasaran, atau justru menambah beban tanpa memberikan kejelasan?

Tahukah Anda, bahwa suara burung pun kini bisa dicap “berbayar”? Bila direkam dan diputar di kafe atau hotel, ada tanggungan royalty, jika ada produser hak rekamannya. Namun, bila hanya mendengar kicau asli dari sangkar burung di trotoar, hukum justru membebaskan Anda dari kewajiban membayar. Kekakuan aturan seperti ini menyisakan tanda tanya: apakah regulasi ditempatkan untuk memperkuat kreativitas dan keadilan, atau justru membentur kepekaan masyarakat?

Belum lagi soal ruang acara, wacana membayar royalty untuk lagu yang dinyanyikan di acara pernikahan membuat pertanyaan lanjutan, apakah resepsi pernikahan termasuk “tempat umum komersial”? PP No. 56/2021 masih samar soal itu, sehingga kita berada pada tatanan hukum abu-abu.

Ruang kebebasan juga datang dari hati musisi. Beberapa artis seperti Fiersa, Ahmad Dhani (Dewa-19), dan Charli ST12 bahkan melepas royalti dan memberi izin bebas agar nada mereka bisa bergaung di kafe, acara lokal, atau ruang usaha tanpa beban biaya. Ini bukan sekadar kemurahan hati, tapi juga strategi promosi dan dukungan terhadap keterjangkauan karya.

Sebaliknya, tanpa batasan tegas, kebingungan akan merebak. Pada satu sisi, LMKN punya dasar untuk menagih; di sisi lain, pelaku usaha akan lenyap karena merasa dipukul tanpa ampun atas tagihan royalty yang perhitungannya juga tak terkira disaat ekonomi kurang baik juga. Keadilan bukan sebatas angka, tapi kemampuan memahami: apakah ruang itu benar-benar menghasilkan nilai ekonomi yang wajib membeli hak

Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah tidak boleh tinggal diam, Pemerintah harus menjadi penengah antara musisi, royalty, ruang promosi karya musisi. Jika pemerintah ingin menjadi penengah yang berkeadilan, maka regulasi tak boleh hanya tegas; harus juga terasa manusiawi. Tarif harus proporsional. Pemutaran musik di kafe kecil tak harus setara dengan undangan resepsi ratusan tamu. Pemerintah harus menyediakan Tools digital yang tentunya transparan untuk menghitung royalty harus memudahkan, bukan mempersulit. Dan yang paling penting, masyarakat, pelaku bisnis perlu tahu tentang aturan ini, bahwa pembayaran royalty bukan aturan baru dan kemudian kaget saat tagihan tiba-tiba datang.

Perdebatan soal royalti ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan menegakkan aturan. Dibutuhkan jembatan yang menghubungkan kepastian hukum dengan rasa keadilan di masyarakat. Pemerintah, LMKN, musisi, dan pelaku usaha perlu duduk bersama. Prinsipnya sederhana: hak cipta tetap dihormati, namun beban biaya harus proporsional, transparan, dan mudah diakses. Berikut langkah-langkah yang dapat ditempuh:

  1. Perjelas definisi “ruang publik komersial”: Apakah acara privat seperti nikahan atau seminar kecil juga wajib bayar? Kalau ya, buat paket khusus; misalnya lisensi sekali jalan dengan tarif ringan yang bisa dibeli online.
  2. Skema tarif proporsional: Penyesuaian tarif berdasarkan kapasitas dan skala usaha. Kafe 20 kursi bisa jadi bayar Rp 100-200 ribu per bulan; acara besar atau hotel besar punya skema bisnis sendiri.
  3. Katalog musik dengan hak bebas royalti: Inilah wujud kolaborasi untuk musisi tertentu membuka karyanya untuk diputar tanpa biaya oleh usaha kecil, dengan pamflet “musisi lokal mendukung usaha lokal”.
  4. Platform digital transparan: Tersedia informasi lengkap, ataupun aplikasi online yang menghitung estimasi tarif, bisa langsung bayar, dan mencetak bukti lisensi.
  5. Kampanye edukasi kolaboratif: Pemerintah atau LMKN perlu melakukan kampanye dengan melibatkan pelaku usaha pariwisata mulai dari hotel, restoran, kafe, hingga pengelola tempat hiburan serta komunitas musik lokal dalam dialog terbuka. Buat bahasa aturan jadi sederhana, mudah dimengerti, dan terasa adil di telinga publik, bukan seperti diktum hukum yang dingin.

Ketika aturan tentang royalti mengurung imaginasi bahkan hingga suara burung, nada cinta di resepsi, hingga lagu musisi tanah air, maka regulasi kehilangan tujuannya: menjaga hak tanpa membunuh kreativitas. Pemerintah perlu merancang ulang, dengan skala yang berimbang, digitalisasi yang memudahkan, dan kebijakan yang terasa adil di hati publik. Karena, musik bukan sekadar soal bisnis tapi juga ruang kebersamaan dan identitas kolektif.

WhatsApp Image 2025 08 13 at 18.02.20 52460f13 | PUNGGAWA NEWS

Oleh: Fajar Lingga Prasetya.,S.AB
Analis Kebijakan Ahli Pertama
Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan
Lembaga Administrasi Negara

_________________________________

Dapatkan Update Berita Terkini dari PUNGGAWANEWS, PUNGGAWALIFE, PUNGGAWASPORT, PUNGGAWATECH, PUNGGAWAFOOD,
Klik Disini jangan Lupa Like & Follow!
__________________________________