PUNGGAWANEWS, OPINI – Indonesia kehilangan seorang putra terbaik: Komisaris Jenderal (Purn.) Drs. H. Jusuf Manggabarani (Puang Oca). Kepergian beliau pada 20 Mei 2025 meninggalkan celah besar dalam kepemimpinan berbasis integritas di negeri ini. Kita tidak hanya meratapi kepergian seorang tokoh, kita juga harus mempertanyakan: masih adakah pemimpin seperti beliau yang sedang kita siapkan hari ini?

Penulis menyaksikan langsung cara beliau memimpin, berbicara, dan mengambil keputusan. Jusuf Manggabarani bukan hanya polisi berpangkat tinggi. Ia adalah panutan yang menjunjung tinggi nilai keadilan, bahkan ketika nilai itu harus dibayar mahal oleh dirinya sendiri.

Lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 1953, kariernya dimulai dari titik nol, sebagai perwira pertama di Polda Nusa Tenggara pada 1975. Dalam struktur birokrasi yang sering kali membingungkan antara loyalitas dan prinsip, beliau memilih jalur yang jarang ditempuh: integritas. Dari Danton Brimob hingga Wakapolri, tiap langkah kariernya adalah bukti bahwa karakter lebih penting dari koneksi.

Banyak orang berbicara tentang “teladan”, tapi sedikit yang benar-benar menjalankannya dalam diam. Jusuf Manggabarani adalah pengecualian. Ia bukan pemimpin yang gemar tampil di layar televisi atau mengejar popularitas. Tetapi ketika ia berbicara, orang mendengar. Bukan karena suaranya keras, tapi karena kata-katanya punya bobot moral.

Indonesia tidak kekurangan orang pintar, kita kekurangan orang yang bersedia memimpin dengan hati, yang menjadikan jabatan bukan sebagai tujuan, tapi sebagai amanah. Dalam hal ini, Jusuf Manggabarani adalah manifestasi nyata dari apa yang seharusnya menjadi etika dasar setiap aparatur negara: keberanian moral.

Mari kita bicara data, bukan hanya kesan. Saat menjabat sebagai Kapolda Aceh di tahun 2002, beliau menghadapi tantangan keamanan di daerah konflik. Tapi tidak seperti pendekatan kekerasan yang kerap diambil dalam operasi serupa, beliau memilih jalan yang lebih manusiawi, menekankan pendekatan dialog dan merangkul masyarakat sipil. Hasilnya? Stabilitas membaik, kepercayaan publik meningkat.

Begitu pula saat menjabat sebagai Kadiv Propam Polri pada 2005 dan Irwasum Polri pada 2007, dua posisi yang biasanya rawan dengan kompromi moral. Di tangan beliau, pengawasan internal bukan alat pembungkam, melainkan ruang pembenahan. Ia mengingatkan institusi bahwa tidak ada reformasi tanpa keteladanan dari dalam (Jusuf Manggabarani, Cahaya Bayangkara, 2011).

Sebagian orang mungkin menganggap tulisan ini sebagai bentuk penyampaian pengalaman pribadi. Tapi izinkan Penulis menjawabnya begini: ketika negara sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap lembaga publik, tidak ada yang lebih mendesak selain menghadirkan kembali kisah-kisah kepemimpinan yang otentik. Kisah yang bisa diteladani, bukan dikonsumsi sebatas nostalgia.

Dalam konteks itulah, sosok Puang Oca menjadi relevan untuk dibicarakan kembali. Begitulah keluarga menyapanya, dikenal tidak hanya sebagai pemimpin tegas, tetapi juga sebagai sosok penuh kerendahan hati dan kasih sayang.

Beliau adalah ayah yang penuh kasih, suami yang setia, dan teman yang tidak pernah pelit memberi wejangan. Anak buahnya mengenang beliau sebagai pemimpin yang tak hanya memikirkan operasi, tetapi juga kesejahteraan dan kebahagiaan mereka.

Komandan Satuan Brimob Polda Sulawesi Selatan, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Heru Novianto, mengenang Komisaris Jenderal (Purn.) Jusuf Manggabarani sebagai sosok yang tak tergantikan dalam sejarah kepolisian, khususnya di jajaran Korps Brimob. Dalam pandangannya, almarhum merupakan simbol keteladanan dan figur pengayom sejati yang dikenal luas sebagai “Bapaknya Brimob” sekaligus “Bapaknya polisi.”

Bagi Heru, Jusuf Manggabarani bukan sekadar tokoh senior, melainkan panutan dan sumber inspirasi yang kiprah serta karakternya telah meninggalkan jejak mendalam dalam setiap langkah pengabdian sebagai aparat negara.

Penulis masih mengingat pesan beliau yang terus terngiang: “Jadilah pribadi yang memberi, bukan yang mengambil, dan tinggalkan jejak yang baik bagi dunia ini.” Pesan ini adalah kompas moral yang harus kita wariskan ke generasi berikutnya.

Dan di sinilah letak argumen utama Penulis: Indonesia perlu secara sistemik membina, mendukung, dan mengangkat lebih banyak “Jusuf Manggabarani” muda, bukan hanya di Polri, tapi di semua lini pemerintahan dan masyarakat sipil. Kita perlu mendefinisikan ulang apa arti sukses dalam kepemimpinan. Bukan dari berapa lama seseorang bertahan di kursi kekuasaan, tetapi seberapa kuat ia mempertahankan prinsip di tengah badai godaan.

Dunia bisa membeli gelar, menukar posisi, bahkan memoles citra. Tapi integritas? Nilai dibentuk dalam keheningan, diuji dalam tekanan, dan diabadikan dalam kenangan orang-orang yang pernah disentuhnya.

Bangsa ini tidak membutuhkan lebih banyak selebritas politik yang mencari sorotan dan pujian. Yang dibutuhkan adalah lebih banyak negarawan sejati, mereka yang rela berdiri di garis depan bukan demi diri sendiri, tapi demi masa depan rakyat dan bangsa.

Jika tulisan ini dapat menjadi pengingat, biarlah itu menjadi penanda bahwa bangsa ini pernah memiliki seorang Jenderal yang memilih integritas ketimbang popularitas. Jenderal yang diamnya berbicara lebih banyak daripada kata-kata kosong yang kadang menghiasi panggung politik kita.

Bagi penulis, hal itu sudah lebih dari cukup untuk meyakini bahwa keteladanan belum punah. Bahwa masih ada nilai-nilai luhur yang menjadi pijakan dalam memimpin, yang mengutamakan kebaikan bersama di atas segala kepentingan pribadi.

Semoga semangat itu terus tumbuh dan menjadi warisan bagi generasi mendatang. Karena Indonesia yang kita cintai tidak hanya membutuhkan pemimpin yang kuat, tapi juga pemimpin yang benar-benar layak untuk dicintai.

adekamwa

Penulis : Adekamwa

Humas Pusjar SKMP LAN RI