Konsep pendidikan gratis di sekolah negeri telah menjadi salah satu program unggulan pemerintah dalam upaya meningkatkan akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Namun, implementasi di lapangan seringkali tidak sesuai dengan harapan. Kisah Nur Febri Susanti, seorang ibu berusia 38 tahun, menjadi cermin realitas yang dialami banyak orang tua ketika berhadapan dengan sistem pendidikan yang seharusnya memberikan kemudahan, namun justru menciptakan beban finansial yang tidak terduga.
Dilema Finansial di Balik Harapan Pendidikan
Nur Febri Susanti mengalami kekecewaan mendalam ketika optimisme untuk menyekolahkan kedua anaknya di tahun ajaran baru berubah menjadi kecemasan finansial. Sebagai ibu yang baru saja memindahkan anak-anaknya dari Jakarta ke SD Negeri Ciledug Barat, Pamulang, ia menghadapi realitas yang berbeda dari ekspektasinya tentang pendidikan gratis.
Kejutan pertama datang pada 11 Juli 2025, ketika kepala sekolah menyampaikan rincian biaya seragam sebesar Rp 1,1 juta per anak. Nominal ini mencakup berbagai jenis seragam mulai dari batik, muslim, olahraga, hingga buku paket. Bagi keluarga dengan penghasilan terbatas, di mana suaminya bekerja sebagai tukang parkir, angka Rp 2,2 juta untuk dua anak bukanlah jumlah yang mudah dipenuhi.
Ketika Nur menanyakan kemungkinan pembayaran cicilan, respons yang diterimanya justru menambah tekanan psikologis. Kepala sekolah menyarankan agar pembayaran dilakukan sekaligus dengan alasan agar anak tidak merasa berbeda dari teman-temannya. Pernyataan ini mencerminkan bagaimana sistem pendidikan kadang mengabaikan kondisi ekonomi keluarga dan justru menciptakan stigma sosial.
Kejanggalan lain yang dialami Nur adalah prosedur pembayaran yang tidak sesuai dengan standar administrasi sekolah negeri. Ia diminta mentransfer uang ke rekening pribadi kepala sekolah, bukan ke rekening resmi sekolah atau koperasi. Praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan sekolah negeri.
Situasi semakin rumit ketika Nur menyampaikan keberatan melalui media sosial. Alih-alih mendapat penjelasan yang memuaskan, ia justru mendapat teguran dengan nada tinggi dari kepala sekolah. Bahkan, dalam perkembangannya, kepala sekolah sempat menyatakan bahwa anak Nur tidak bisa diterima karena alasan administrasi, meskipun surat penerimaan telah ada di tangannya.
Suara Nur akhirnya sampai ke telinga Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan. Kepala Bidang Pembinaan SD, Didin Sihabudin, memberikan klarifikasi tegas bahwa sekolah negeri tidak diperkenankan melakukan pungutan dalam bentuk apapun. Prinsip ini menjadi dasar kebijakan pendidikan gratis yang telah dicanangkan pemerintah.
Dinas pendidikan merespons dengan cepat melalui surat panggilan kepada kepala sekolah terkait untuk dilakukan pembinaan dan pemeriksaan. Didin menegaskan bahwa siswa pindahan diperbolehkan menggunakan seragam lama dan tidak boleh ada paksaan untuk membeli seragam baru. Jaminan ini disertai dengan komitmen untuk mencegah intimidasi atau bullying terhadap siswa yang tidak menggunakan seragam baru.
Refleksi dan Makna yang Lebih Dalam
Kasus yang dialami Nur mencerminkan kesenjangan antara kebijakan pendidikan gratis dengan implementasinya di lapangan. Bagi keluarga dengan ekonomi terbatas, biaya seragam yang mencapai jutaan rupiah bukan sekadar angka, tetapi representasi dari perjuangan hidup sehari-hari. Ketika Nur menyebutkan bahwa ia terbiasa berhemat untuk sekarung beras atau sepotong lauk, nominal tersebut menjadi beban yang sangat berat.
Praktik pungutan yang tidak sesuai prosedur juga menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan aturan di tingkat sekolah. Rekening pribadi kepala sekolah yang dijadikan sarana pembayaran mencerminkan potensi penyalahgunaan wewenang dan kurangnya sistem kontrol yang efektif.
Kisah Nur Febri Susanti menjadi pengingat bahwa konsep pendidikan gratis memerlukan implementasi yang konsisten dan pengawasan yang ketat. Pungutan ilegal di sekolah negeri bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga mengkhianati amanah masyarakat yang telah mempercayakan pendidikan anak-anak mereka kepada negara.
Respons cepat Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa sistem pengawasan masih dapat bekerja ketika ada laporan dari masyarakat. Namun, idealnya, pencegahan harus lebih diprioritaskan daripada penanganan setelah masalah terjadi.
Pada akhirnya, pendidikan gratis yang berkualitas memerlukan komitmen penuh dari semua pihak untuk memastikan bahwa tidak ada lagi orang tua yang harus mengalami dilema seperti Nur. Setiap anak berhak mendapat pendidikan tanpa harus terbebani oleh pungutan yang tidak semestinya, dan setiap orang tua berhak merasakan ketenangan dalam menyekolahkan anak-anak mereka.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.