Dalam dunia jurnalistik, ada pepatah yang selalu saya sampaikan kepada wartawan muda: “Wartawan harus lebih pintar dari narasumbernya.” Prinsip ini menuntut penguasaan pengetahuan di segala bidang. Namun, ada satu sosok dalam sejarah yang benar-benar mewujudkan konsep “menguasai segala ilmu” secara literal.

Kelahiran Seorang Genius

Tahun 973 Masehi, di kota kecil Kath, wilayah Khwarazm—jauh sebelum Uzbekistan modern terbentuk—lahir seorang anak yang kelak akan mengubah wajah ilmu pengetahuan dunia. Abu Raihan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni, demikian nama lengkapnya, tumbuh di era ketika manusia belum mengenal listrik dan peradaban Barat masih yakin bumi berbentuk datar.

Sejarah tidak cukup menyebutnya sebagai ilmuwan biasa. Gelar “Guru Segala Ilmu” disandangnya berkat kontribusi ilmiah yang tak terhitung jumlahnya, semuanya dicapai dengan hanya bermodalkan lilin dan pena bulu angsa.

Perpustakaan Berjalan di Masa Lampau

Al-Biruni ibarat teka-teki hidup yang menjelma menjadi perpustakaan bergerak. Kemampuan berpikirnya melampaui kecepatan prosesor modern, menguasai berbagai bahasa tanpa bantuan teknologi, dan mampu mengukur keliling bumi hanya dengan tongkat dan bayangan matahari.

Saat manusia masa kini masih bergantung pada aplikasi kompas untuk mencari arah kiblat, Al-Biruni telah menciptakan rumus pengukuran arah kiblat berabad-abad sebelum teknologi digital ada.

Pencapaian yang Mengagumkan

Dalam keheningan penelitiannya, Al-Biruni berhasil menghitung radius bumi dengan tingkat akurasi mencapai 6.339 kilometer—sebuah pencapaian yang membuat para ilmuwan modern terkagum-kagum. Ketika Galileo masih dalam masa pembelajaran, Al-Biruni telah menyelesaikan ensiklopedia astronomi yang sangat komprehensif.

Keunggulannya tidak hanya terletak pada kemampuan membedakan astronomi dari astrologi, tetapi juga pada visinya yang jauh melampaui zamannya.

Pelopor Berbagai Disiplin Ilmu

Al-Biruni tidak hanya menatap langit, tetapi juga menjelajahi bumi. Sebagai pelopor geodesi, ia menggunakan metode triangulasi untuk mengukur bumi dan menciptakan peta-peta dunia dengan tangan yang tidak pernah gemetar, bahkan di tengah gejolak politik negerinya.

Perpindahannya dari Khwarazm ke Jurjan bukanlah pelarian, melainkan pencarian ketenangan untuk menulis—karena baginya, menulis jauh lebih bermakna daripada perebutan kekuasaan istana.

Misi Memahami, Bukan Menaklukkan

Perjalanan Al-Biruni ke India selama 13 tahun bukan untuk berwisata, tetapi untuk mempelajari bahasa Sansekerta, menyelami kitab suci Hindu, dan berdialog dengan para Brahmana. Hasil penelitiannya menghasilkan karya antropologi yang bahkan menurut standar modern tergolong sangat maju untuk abad ke-11.

Pendekatan Al-Biruni unik: ia datang dengan misi memahami, bukan menaklukkan. Pemahaman mendalam inilah yang menjadi kekuatan abadi dalam karyanya.

Kontribusi Multidisipliner

Keahlian Al-Biruni meliputi beragam bidang: dari batu permata hingga farmakologi, dari filsafat hingga sejarah kalender, dari mineralogi hingga optik. Semua dikerjakan dengan satu prinsip teguh: ilmu harus bebas dan pencariannya harus tulus.

Berbeda dengan ilmuwan masa kini yang sering terjebak dalam urusan paten dan royalti, Al-Biruni menulis demi keabadian ilmu pengetahuan.

Kecerdasan Tanpa Teknologi

Di era kecerdasan buatan yang sangat dipuja saat ini, Al-Biruni tetap lebih menakjubkan. Tanpa server, RAM, bahkan listrik, kemampuan berpikirnya mengalahkan algoritma modern. Ia hidup tanpa Wi-Fi, namun mampu menghubungkan semua titik semesta dalam satu jalinan pemikiran yang brilian.

Hingga akhir hayatnya, Al-Biruni tidak pernah berhenti menulis. Tidak ada masa pensiun, tidak ada liburan, tidak ada pengumuman pamit—hanya dedikasi total untuk ilmu pengetahuan.

Warisan yang Abadi

Satu-satunya jejak “digital” Al-Biruni adalah kawah di bulan yang dinamai sesuai namanya: Al-Biruni Crater. Meskipun tidak pernah menginjakkan kaki di bulan, bulan pun ingin mengabadikan sosok yang telah mengungkap rahasia-rahasia langit.

Al-Biruni bukan sekadar bagian dari masa lalu—ia adalah representasi masa depan yang telah mendahului zamannya. Hingga kini, kita semua masih tertinggal jauh, bahkan terkadang salah dalam mengeja namanya.

Sosok Al-Biruni mengingatkan kita bahwa penguasaan ilmu sejati tidak mengenal batas waktu, teknologi, atau kemewahan. Yang ada hanyalah rasa ingin tahu yang tulus dan dedikasi tanpa batas untuk kemajuan pengetahuan manusia.