Di era digital, hidup kita seolah menyatu dengan layar. Dari membuka mata hingga menjelang tidur, cahaya biru ponsel menjadi teman setia. Notifikasi tak kenal waktu, grup kerja aktif 24 jam, dan rapat daring bisa muncul di sela makan malam keluarga. Bagi sebagian ASN, hal ini bukan sekadar persoalan teknologi, tapi juga soal waras: bagaimana menjaga kewarasan diri di tengah tuntutan yang tak pernah benar-benar berhenti.

ASN hari ini hidup di antara dua dunia, dunia kerja yang menuntut kecepatan dan dunia pribadi yang butuh ketenangan. Dulu, setelah jam kantor berakhir, kita bisa menutup berkas, pulang, dan benar-benar istirahat. Kini, meski sudah di rumah, pekerjaan bisa menembus ruang pribadi lewat pesan WhatsApp, e-mail, atau grup koordinasi yang seolah tak mengenal jam kerja. Di sinilah batas antara “kerja” dan “hidup” mulai kabur.

Sebagian ASN mencoba beradaptasi. Ada yang tetap membalas pesan kantor hingga larut malam demi menjaga performa. Ada juga yang mulai berani menetapkan batas, memilih mematikan notifikasi di jam tertentu. Namun di sisi lain, rasa bersalah sering muncul, takut dianggap tidak responsif atau kurang berdedikasi. Paradoks ini membuat banyak ASN bekerja secara always on, tapi lelah secara mental. Bukan hanya tubuh yang kelelahan, pikiran pun ikut jenuh.

Keseimbangan kerja dan hidup (work life balance) kini menjadi isu penting, bukan hanya bagi sektor swasta, tapi juga birokrasi. ASN dituntut adaptif dengan transformasi digital, namun di saat bersamaan juga perlu menjaga sisi kemanusiaannya. Karena produktivitas sejati bukan sekadar banyaknya tugas yang diselesaikan, melainkan kemampuan tetap berpikir jernih, berinteraksi dengan empati, dan mengambil keputusan yang manusiawi.

Ironisnya, banyak yang merasa bangga dengan status “sibuk”. Padahal, kesibukan tanpa arah sering kali menenggelamkan makna dari pekerjaan itu sendiri. ASN yang sehat secara mental akan lebih mampu melayani publik dengan empati dan profesionalisme. Sebaliknya, ASN yang burnout cenderung reaktif, mudah tersulut emosi, dan kehilangan sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat.

Beberapa langkah kecil sebenarnya bisa dimulai untuk menjaga keseimbangan ini:

  1. Menetapkan jam “tenang digital” setelah jam kerja.
  2. Menghindari membuka pesan kerja di atas jam tertentu, kecuali mendesak.
  3. Menggunakan teknik time blocking, fokus menyelesaikan satu tugas tanpa distraksi.
  4. Melakukan refleksi harian singkat, seperti menulis jurnal atau sekadar duduk tanpa ponsel.
  5. Melatih mindfulness, dengan menarik napas dalam beberapa menit sebelum berganti aktivitas.
  6. Mengembalikan makna rehat, memahami bahwa istirahat bukan kemalasan, tapi bagian dari tanggung jawab menjaga kinerja jangka panjang.

Organisasi pun berperan penting. Budaya kerja yang sehat seharusnya memberi ruang untuk beristirahat, bukan hanya menuntut produktivitas tanpa batas. Pemimpin yang bijak akan memahami bahwa ASN bukan robot yang selalu terhubung, tapi manusia dengan kehidupan dan keluarga. Sebuah lembaga yang sehat bukan hanya yang digitalisasinya maju, tapi juga yang manusianya bahagia.

Di tengah semua dinamika ini, mungkin kita perlu mengingat kembali alasan mengapa dulu memilih menjadi ASN yaitu untuk mengabdi. Pengabdian sejati bukan tentang hadir setiap saat di layar, tapi tentang hadir sepenuhnya ketika dibutuhkan dengan hati yang tenang dan pikiran yang jernih. Karena pelayanan publik sejatinya adalah bentuk kasih yang terukur, dilakukan dengan profesional, namun tetap manusiawi.

Menjaga waras di era digital berarti belajar melepaskan genggaman layar untuk sejenak menatap dunia nyata, menikmati waktu bersama keluarga, berbicara tanpa terganggu notifikasi, dan memberi ruang bagi diri untuk diam. Dari sanalah keseimbangan lahir, dan dari keseimbangan itulah lahir ASN yang benar-benar berdaya.

_________________________________

Dapatkan Update Berita Terkini dari PUNGGAWANEWS, PUNGGAWALIFE, PUNGGAWASPORT, PUNGGAWATECH, PUNGGAWAFOOD,
Klik Disini jangan Lupa Like & Follow!
__________________________________