PUNGGAWANEWS, SINJAI – Gelombang panas laut kembali melanda dunia dan menimbulkan kekhawatiran serius terhadap keberlangsungan ekosistem laut. Laporan terbaru National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mengungkap, lebih dari 80 persen terumbu karang global kini mengalami bleaching atau pemutihan massal akibat suhu laut yang ekstrem. Fenomena ini bukan hanya sinyal ekologis, tetapi juga peringatan keras bahwa laut tengah berada dalam kondisi sakit.
Sebagai negara dengan hamparan terumbu karang tropis terbesar di dunia, Indonesia turut merasakan dampaknya. Dari Wakatobi hingga Raja Ampat, serta dari Spermonde hingga Pulau Sembilan di Sinjai, warna-warni karang mulai memudar. Ikan-ikan menjauh, dan nelayan kehilangan tumpuan hidup. Di balik keindahan laut biru, tersimpan jeritan ekosistem yang sedang menanggung beban berat perubahan iklim dan aktivitas manusia.

Terumbu karang kerap dijuluki sebagai “hutan hujan tropis lautan” sebutan yang sepenuhnya layak. Meskipun hanya menutupi kurang dari satu persen dasar laut dunia, karang menopang lebih dari seperempat keanekaragaman spesies laut. Ia juga berperan penting melindungi garis pantai dari abrasi, menjadi tempat bertelur ikan, hingga sumber pangan bagi jutaan orang di dunia.
Nilai ekonominya pun sangat besar. Kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat, potensi ekonomi terumbu karang Indonesia bisa mencapai lebih dari 1,5 miliar dolar AS per tahun apabila dikelola secara berkelanjutan. Mulai dari hasil tangkapan seperti ikan kerapu dan lobster, hingga sektor wisata bahari dan bioteknologi laut semuanya bergantung pada kesehatan terumbu karang. Bagi masyarakat pesisir, karang bukan sekadar ekosistem, melainkan tabungan ekologis lintas generasi.
Namun, fondasi itu kini rapuh. Kenaikan suhu permukaan laut sebesar 1,2°C mengganggu hubungan simbiosis antara polip karang dan zooxanthellae, mikroalga pemberi warna sekaligus sumber energi bagi karang. Ketika suhu melebihi batas toleransi, alga terlepas, karang memutih, dan pada akhirnya mati. Di sisi lain, polusi plastik, sedimentasi, serta penangkapan ikan destruktif turut mempercepat keruntuhan ekosistem ini.

Di tengah situasi tersebut, konsep ekonomi biru hadir sebagai harapan baru. Paradigma ini menempatkan laut bukan sekadar objek eksploitasi, melainkan ruang kehidupan yang dikelola secara regeneratif. Terumbu karang menjadi fondasi utama ekonomi biru: tanpa karang, tidak ada ikan; tanpa ikan, tidak ada nelayan; tanpa laut yang sehat, tidak ada ekonomi biru.
Karena itu, restorasi dan konservasi karang perlu dilihat sebagai investasi strategis. Pendekatan nature-based solutions, seperti rehabilitasi padang lamun, perlindungan mangrove, dan transplantasi karang, harus dipadukan dalam kebijakan pembangunan biru nasional. Contohnya di Bali, proyek transplantasi karang berbasis masyarakat berhasil meningkatkan tutupan karang hingga 60 persen dalam lima tahun. Kolaborasi antara akademisi, pemerintah daerah, dan komunitas penyelam membuktikan bahwa konservasi dan ekonomi dapat berjalan beriringan.

Kemajuan teknologi juga membuka peluang baru. Penggunaan drone dan kecerdasan buatan (AI) untuk pemetaan karang, 3D printing substrat buatan, hingga teknik coral seeding mulai diterapkan di berbagai daerah. Namun, secanggih apa pun teknologi, tak akan berarti tanpa perubahan cara pandang manusia terhadap laut.
Sudah saatnya beralih dari pola pikir “mengambil dari laut” menjadi “merawat laut.” Nelayan dan pelaku wisata harus dilibatkan bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga mitra aktif dalam menjaga ekosistem. Model pengelolaan berbasis komunitas, seperti yang berhasil diterapkan di Filipina dan Seychelles, kini mulai diadaptasi di Indonesia melalui program Kampung Nelayan Merah Putih.

Terumbu karang menjadi penanda betapa rapuhnya masa depan laut Indonesia, namun sekaligus menunjukkan daya pulih luar biasa jika diberi kesempatan. Dalam menghadapi krisis iklim yang semakin nyata, menjaga karang berarti menjaga fondasi ekonomi biru bangsa.
Kini saatnya pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat bersatu: dari laboratorium ke lapangan, dari data ke tindakan, dan dari konservasi menuju kolaborasi. Karang bukan sekadar batu hidup, melainkan detak jantung laut yang menopang kehidupan dan menjadi simbol harapan.
Jika laut adalah masa depan bangsa, maka menjaga karang berarti menjaga kehidupan itu sendiri.




Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.