Mentari pagi belum sepenuhnya menyinari jalanan Makassar ketika Ibu Sari sudah terbangun dengan gelisah. Hari ini, seluruh sekolah di Indonesia memulai tahun ajaran baru. Namun, sebuah surat edaran pemerintah membuat tidurnya tak nyenyak sejak seminggu lalu.
Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2025 dari BKKBN tentang “Hari Pertama Sekolah Bersama Ayah” masih terlipat rapi di atas meja dapur. Kertas putih itu seolah mengejek, meminta sesuatu yang tak bisa ia berikan kepada kedua anaknya.
“Mama, kenapa Dika dan Aira tidak boleh diantar Papa seperti teman-teman yang lain?” tanya Aira, anak perempuannya yang akan masuk SD kelas 1.
Ibu Sari terdiam. Bagaimana menjelaskan kepada anak berusia 6 tahun bahwa ayah mereka telah tiada dua tahun lalu? Bagaimana mengatakan bahwa pemerintah lupa, tidak semua anak memiliki ayah?
Di seberang kota, Nenek Aminah menghadapi dilema serupa. Cucu semata wayangnya, Rizki, akan masuk TK hari ini. Orang tua anak itu telah bercerai, dan ayahnya menghilang tanpa kabar. Sang nenek yang berusia 65 tahun harus menghadapi kenyataan bahwa program “mulia” ini justru menjadi cambuk bagi keluarga tidak lengkap.
“Nek, kenapa harus ayah? Kan Rizki punya nenek yang sayang,” bisik bocah 5 tahun itu dengan mata berbinar.
Nenek Aminah memeluk cucunya erat. “Iya, sayang. Nenek akan antar Rizki.”
Pukul 07.00 WITA, gerbang SDN 1 Tamalate mulai ramai. Puluhan ayah berdatangan mengantar anak-anak mereka. Ada yang naik sepeda motor, mobil pribadi, bahkan ada yang menggunakan taksi online khusus untuk momen istimewa ini.
Pak Budi, seorang PNS, datang dengan mengenakan kemeja batik dan celana kain. “Alhamdulillah, bisa ikut program pemerintah. Ini bagus untuk bonding ayah dan anak,” katanya sambil menggandeng Farhan, anaknya yang akan masuk kelas 2.
Namun, tidak jauh dari keramaian itu, Ibu Sari berdiri canggung dengan kedua anaknya. Mata Dika dan Aira menatap penuh tanda tanya ke sekeliling mereka. Semua temannya datang bersama ayah, sementara mereka hanya berdua dengan mama.
“Mama, kenapa kita berdiri di sini?” tanya Dika, anak laki-lakinya yang akan masuk kelas 4.
Sebelum Ibu Sari sempat menjawab, Bu Rina, wali kelas Aira, mendekati mereka. “Ibu Sari, ada masalah? Kok tidak ikut barisan ayah dan anak?”
“Maaf, Bu. Suami saya sudah meninggal. Jadi saya yang antar,” jawab Ibu Sari dengan suara bergetar.
Bu Rina terdiam sesaat. Baru ia sadari, tidak semua keluarga siswa memiliki struktur yang sama. Program yang dirancang dengan baik di atas kertas ternyata tidak mempertimbangkan realitas sosial yang beragam.
“Maaf, Bu Sari. Silakan ikut saja dalam barisan. Yang penting, anak-anak berangkat sekolah dengan hati yang gembira,” kata Bu Rina sambil menepuk pundak Ibu Sari.
Sementara itu, di TK Harapan Bangsa, Nenek Aminah menghadapi situasi yang lebih rumit. Pihak sekolah dengan tegas mengatakan bahwa program ini khusus untuk ayah dan anak. Pengganti tidak diizinkan.
“Maaf, Nenek. Ini program nasional. Harus ayah yang mengantar. Mungkin ayah Rizki bisa datang?” tanya Pak Wahyu, kepala sekolah.
“Pak, ayah Rizki sudah tidak ada. Saya yang merawat cucu ini sendirian,” jawab Nenek Aminah dengan mata berkaca-kaca.
Rizki melihat neneknya menangis. Bocah polos itu memeluk kaki neneknya dan berkata, “Nenek jangan sedih. Rizki tidak papa tidak punya ayah. Rizki sayang nenek.”
Pak Wahyu tertegun. Ia baru menyadari bahwa program yang dimaksudkan untuk mempererat hubungan keluarga justru menjadi diskriminasi bagi keluarga tidak lengkap.
Di media sosial, cerita serupa bermunculan. Hashtag #AnakTanpaAyah menjadi trending topic. Banyak ibu tunggal, nenek, dan keluarga tidak lengkap yang merasa terdiskriminasi oleh program ini.
“Pemerintah lupa, tidak semua anak beruntung memiliki ayah. Kami, para ibu tunggal, sudah berjuang keras membesarkan anak sendirian. Jangan tambah beban kami dengan program yang tidak inklusif,” tulis salah satu netizen.
Kritik juga datang dari para ahli pendidikan. Dr. Siti Maryam, psikolog anak dari salahsatu Universitas di Negeri ini, menyatakan bahwa program seperti ini bisa menimbulkan trauma psikologis pada anak-anak dari keluarga tidak lengkap.
“Anak-anak bisa merasa berbeda dan kurang beruntung. Ini bisa mempengaruhi konsep diri mereka,” kata Dr. Siti dalam sebuah wawancara.
Namun, pemerintah tetap berdalih bahwa program ini baik untuk memperkuat peran ayah dalam pendidikan anak. Juru bicara BKKBN, Pak Agus, mengatakan bahwa program ini telah dikaji dan dianggap positif.
“Kami yakin program ini membawa dampak positif. Untuk keluarga tidak lengkap, bisa mencari ayah pengganti dari kerabat,” kata Pak Agus.
Pernyataan ini justru memicu kemarahan masyarakat. Bagaimana mungkin mencari “ayah pengganti” semudah itu? Apakah pemerintah tidak memahami kompleksitas kehidupan keluarga di masyarakat?
Sore hari, setelah hari pertama sekolah berakhir, Ibu Sari duduk di teras rumahnya sambil merenung. Dika dan Aira bermain di halaman, tertawa riang seolah tidak terjadi apa-apa. Anak-anak memang lebih tegar dari yang kita kira.
“Mama, tadi di sekolah, Bu Rina bilang yang penting kita sekolah dengan semangat. Tidak papa tidak ada papa, yang penting mama sayang sama kita,” kata Aira sambil memeluk ibunya.
Ibu Sari tersenyum. Mungkin memang benar, yang terpenting bukan kehadiran ayah, tapi kehadiran cinta dan kasih sayang, dari siapa pun yang ada.
Di ujung kota, Nenek Aminah menidurkan Rizki sambil menceritakan dongeng. “Nenek, besok Rizki mau sekolah lagi. Rizki senang sekolah,” kata Rizki sebelum tertidur.
Nenek Aminah mengelus rambut cucunya. Ia berharap, suatu hari nanti, program-program pemerintah bisa lebih inklusif, tidak melupakan keluarga-keluarga seperti mereka.
Malam itu, di berbagai sudut Indonesia, ribuan ibu tunggal, nenek, dan keluarga tidak lengkap berdoa dengan harapan yang sama: semoga anak-anak mereka bisa tumbuh dengan bahagia, terlepas dari keterbatasan struktur keluarga mereka.
Program “Hari Pertama Sekolah Bersama Ayah” memang berakhir, tapi diskusi tentang inklusivitas kebijakan publik baru saja dimulai. Masyarakat berharap, pemerintah bisa belajar dari pengalaman ini dan membuat kebijakan yang lebih ramah untuk semua jenis keluarga.
Sebab pada akhirnya, yang dibutuhkan anak-anak di hari pertama sekolah bukanlah kehadiran ayah, tapi kehadiran cinta dan dukungan dari orang-orang yang peduli pada mereka.
Makassar, 14 Juli 2025 –
Cerita ini terinspirasi dari fenomena nyata yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada tahun ajaran baru 2025, menggambarkan dilema keluarga tidak lengkap menghadapi program pemerintah yang kurang inklusif.