Pagi itu, Jakarta bangun dengan hiruk-pikuk yang tidak biasa. Media sosial ramai dengan perbincangan tentang seorang ibu yang tiba-tiba menjadi sorotan publik. Namanya Agustina Hastarini, atau lebih dikenal dengan nama panggungnya, Tina Astari. Ia bukan artis yang sedang naik daun, bukan pula politisi yang tengah berkampanye. Ia hanya seorang ibu biasa yang kebetulan menjadi istri seorang menteri.

Tina duduk di ruang tamu rumahnya yang sederhana, memandangi layar televisi yang menampilkan berita tentang dirinya. Wajahnya tampak lelah, namun matanya masih memancarkan ketegasan. Di sampingnya, suaminya MamanĀ  duduk dengan wajah yang tidak kalah penat.

“Mama, kenapa nama Mama ada di televisi?” tanya putri kecilnya yang berusia dua belas tahun, si penari cilik yang menjadi awal mula dari seluruh kontroversi ini.

Tina menghela napas panjang. “Sayang, kadang-kadang orang dewasa membuat kesalahan dalam memahami sesuatu. Mama hanya perlu menjelaskan yang sebenarnya terjadi.”

Narasi dimulai beberapa hari yang lalu, ketika Tina memutuskan untuk mendampingi putrinya yang akan tampil di festival budaya Euro Folk 2025 di Eropa. Bukan karena glamor atau prestise, melainkan karena naluri keibuan yang tidak bisa dibantah. Bagaimana mungkin seorang ibu membiarkan anak berusia dua belas tahun menghadapi panggung internasional sendirian?

“Saya tidak pernah meminta bantuan dari kantor suami,” kenang Tina. “Saya tabung uang sendiri berbulan-bulan untuk biaya perjalanan ini. Hotel, tiket pesawat, makan, semuanya dari uang pribadi.”

Namun, takdir berkata lain. Entah bagaimana, sebuah surat resmi dari Kementerian UMKM terbit, menyatakan bahwa perjalanan Tina adalah misi diplomatik. Ironisnya, surat itu bertanggal 30 Juni 2025, sementara Tina sudah terbang pada tanggal 29 Juni.

“Saya bingung setengah mati,” ungkap Tina dengan tawa pahit. “Saya baru tahu ada surat itu dari pemberitaan media. Bayangkan, saya yang jadi subjek surat, malah terakhir yang tahu.”

Kontroversi pun meledak. Netizen berbondong-bondong menghujat, media ramai memberitakan, dan Tina tiba-tiba menjadi tokoh utama dalam drama birokrasi yang absurd. Ia yang hanya ingin menjadi ibu yang baik, tiba-tiba harus berhadapan dengan tuduhan penyalahgunaan jabatan.

“Surat itu seperti hantu,” gumam Maman sambil menggelengkan kepala. “Muncul tiba-tiba, tidak ada yang tahu siapa yang membuatnya, tapi dampaknya luar biasa.”

Tina tidak tinggal diam. Ia mengumpulkan semua bukti pembayaran, dari tiket pesawat hingga nota hotel. Semua struk, semua bukti transfer, semua dokumen yang menunjukkan bahwa perjalanan ini benar-benar dari kantong pribadi.

“Saya akan buktikan bahwa saya tidak menggunakan satu rupiah pun dari uang negara,” tekad Tina dengan mata berkaca-kaca, namun tetap teguh.

Hari itu, Tina dan Maman pergi ke kantor KPK. Bukan sebagai tersangka, melainkan sebagai keluarga yang ingin menjaga nama baik dan menunjukkan transparansi. Maman membawa map tebal berisi bukti-bukti pembayaran.

“Ini bukan tentang pembelaan diri,” kata Maman kepada para wartawan yang mengerumuni mereka. “Ini tentang kejujuran dan akuntabilitas. Istri saya tidak pernah meminta, tidak pernah tahu, dan tidak pernah menerima fasilitas apapun dari negara untuk perjalanan ini.”

Tina berdiri di samping suaminya dengan kepala tegak. “Saya hanya seorang ibu yang ingin mendampingi anak saya. Kalau itu salah, maka seluruh ibu di Indonesia juga salah.”

Kasus ini kemudian menjadi perbincangan hangat di berbagai forum. Ada yang membela Tina, ada yang tetap mencurigai. Namun, fakta-fakta yang dihadirkan sulit untuk dibantah. Bukti pembayaran lengkap, tanggal keberangkatan yang tidak sinkron dengan surat dinas, dan pengakuan jujur dari kedua belah pihak.

“Yang paling menyakitkan,” kata Tina dalam sebuah wawancara, “adalah ketika orang menganggap saya menggunakan status suami untuk kepentingan pribadi. Padahal, saya justru berusaha tidak melibatkan jabatan suami dalam urusan keluarga.”

Putrinya yang menjadi penari cilik itu duduk di pangkuan Tina, masih belum sepenuhnya memahami mengapa ibunya harus menjadi berita. “Mama kenapa sedih?” tanya si kecil polos.

“Mama tidak sedih, sayang,” jawab Tina sambil mengusap kepala anaknya. “Mama hanya ingin orang-orang tahu bahwa Mama pergi karena sayang sama kamu, bukan karena hal lain.”

Berhari-hari kemudian, investigasi menunjukkan bahwa surat itu memang dibuat tanpa sepengetahuan Tina. Seseorang di kementerian, dengan itikad baik namun salah prosedur, membuat surat tersebut dengan asumsi bahwa perjalanan istri menteri otomatis menjadi misi diplomatik.

“Inilah yang disebut ‘baik tapi salah’,” komentar seorang pengamat birokrasi. “Niatnya baik, tapi prosedurnya salah. Akibatnya, yang innocent malah kena dampak.”

Tina akhirnya terbebas dari segala tuduhan. Namun, pelajaran dari kasus ini sangat berharga. Ia mengajarkan bahwa dalam birokrasi, komunikasi yang buruk bisa menciptakan masalah yang tidak perlu. Bahwa transparansi dan kejujuran adalah kunci untuk keluar dari masalah.

“Saya tidak menyalahkan siapa-siapa,” kata Tina di penghujung kontroversi. “Saya hanya berharap, ke depannya, koordinasi antar lembaga bisa lebih baik. Jangan sampai ada lagi keluarga yang mengalami hal seperti ini.”

Maman mengangguk setuju. “Ini menjadi pelajaran bagi kami semua. Bahwa menjadi keluarga pejabat bukan berarti kehilangan hak untuk menjadi manusia biasa. Tapi di sisi lain, kami juga harus lebih hati-hati dan transparan dalam setiap tindakan.”

Putri kecil mereka, yang tidak tahu apa-apa tentang politik dan birokrasi, hanya tahu satu hal: ibunya adalah wanita terkuat yang pernah ia kenal. Wanita yang rela berhadapan dengan badai demi melindungi keluarganya.

“Terima kasih, Mama,” bisik si kecil. “Terima kasih sudah menemani aku menari.”

Tina tersenyum, air matanya jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena lega. Lega bahwa kebenaran akhirnya terungkap. Lega bahwa ia berhasil membuktikan bahwa seorang ibu bisa menjadi kuat tanpa harus kehilangan integritas.

Dan di negeri yang penuh dengan surat berkop ini, kisah Tina Astari menjadi pengingat bahwa kejujuran, meski harus melalui jalan yang berliku, pada akhirnya akan selalu menemukan jalannya sendiri.

Republik Klarifikasi memang tempat yang rumit, tempat di mana etika bergumul dengan eksistensi administratif. Namun, di tengah kerumitan itu, masih ada orang-orang seperti Tina yang memilih untuk tetap jujur, meski dunia seolah menghakiminya.

Dan mungkin, itulah yang membuat negeri ini masih memiliki harapan.

Narasi :
Muhammad Suhri