Di sebuah kota yang ramai dengan hiruk-pikuk kehidupan modern, hiduplah seorang pengantar makanan bernama Sari. Setiap hari, dia berkeliling kota dengan sepeda motornya yang sudah berumur, mengantar pesanan dari satu tempat ke tempat lain. Baginya, pekerjaan ini bukan hanya sekadar mencari nafkah, tetapi sebuah panggilan untuk melayani dengan tulus.
Pada suatu malam yang gelap, Sari menerima pesanan yang tampak biasa—segelas kopi dari sebuah kedai kecil di ujung kota. Namun, takdir tampaknya memiliki rencana lain. Jalanan yang biasanya lancar tiba-tiba macet karena ada acara budaya yang sedang berlangsung. Sari terjebak dalam kemacetan yang tak berujung.
Ketika akhirnya dia sampai di alamat tujuan, sudah terlambat lima menit dari waktu yang diperkirakan. Di depan pintu rumah yang megah, berdiri seorang pria paruh baya bernama Hendra. Wajahnya merah padam, matanya menatap tajam penuh amarah.
“Kamu tahu tidak sih, gue sudah nunggu dari tadi!” bentak Hendra tanpa memberi kesempatan Sari untuk menjelaskan. “Gara-gara kamu telat, kopi gue jadi dingin!”
Sari mencoba menjelaskan tentang kemacetan, tetapi Hendra tak mau mendengar. Amarahnya semakin memuncak ketika melihat kekasih Sari, Dani, yang ikut menyertai. Tanpa peringatan, Hendra mendorong Dani hingga terjatuh dan mulai menyerang dengan brutal.
“Jangan sakiti dia!” teriak Sari sambil mencoba melindungi Dani. Namun Hendra sudah hilang kendali. Dia mencakar wajah Dani dengan kukunya, meninggalkan luka yang berdarah.
Tak disangka, kejadian ini terekam oleh kamera keamanan tetangga. Video tersebut kemudian tersebar luas di media sosial, membuat amarah para pengantar makanan se-kota meledak. Mereka merasa bahwa serangan terhadap Sari dan Dani adalah serangan terhadap seluruh komunitas mereka.
Keesokan harinya, ratusan pengantar makanan berkumpul di depan rumah Hendra. Mereka datang bukan untuk mengantar pesanan, tetapi untuk menuntut keadilan. Suasana semakin memanas ketika polisi mencoba membubarkan kerumunan.
“Kami tidak akan diam!” teriak salah satu pengantar. “Sudah terlalu lama kami diperlakukan seperti ini!”
Keadaan menjadi tidak terkendali. Beberapa orang mulai melempari rumah Hendra dengan batu. Mobil polisi yang diparkir di dekat lokasi dibalik oleh massa yang emosional. Kaca-kaca pecah berserakan, mencerminkan betapa rapuhnya batas antara keadilan dan kekerasan.
Akhirnya, Hendra dipaksa keluar dari rumahnya oleh polisi. Di hadapan puluhan kamera dan ratusan mata yang menatap tajam, dia terpaksa meminta maaf. Namun permintaan maaf itu terasa hambar, seperti kopi yang sudah dingin.
“Saya minta maaf atas perbuatan saya,” ucap Hendra dengan suara bergetar. “Saya tidak bermaksud—”
“Terlambat!” potong salah satu pengantar. “Kalian pikir kami ini bukan manusia?”
Sari, yang berdiri di antara kerumunan dengan perban di wajahnya, menatap Hendra dengan mata yang penuh luka. Bukan hanya luka fisik, tetapi juga luka harga diri yang mungkin tak akan pernah sembuh sepenuhnya.
Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh kota. Media massa ramai membahas bagaimana perlakuan terhadap pekerja jalanan selama ini. Banyak yang mulai menyadari bahwa di balik setiap pesanan makanan yang mereka terima, ada sosok manusia yang berjuang keras untuk mencari nafkah.
Hendra akhirnya harus berurusan dengan hukum atas tindak kekerasan yang dilakukannya. Sementara itu, beberapa pengantar yang terlibat dalam kerusuhan juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
Bulan-bulan berlalu sejak kejadian itu. Sari masih bekerja sebagai pengantar makanan, tetapi kini dia diperlakukan dengan lebih hormat oleh para pelanggan. Cerita tentang keberaniannya melindungi kekasih telah menjadi legenda di kalangan komunitas pengantar makanan.
Suatu sore, Sari mendapat pesanan lagi—segelas kopi dari kedai yang sama. Kali ini, pelanggannya adalah seorang wanita tua yang ramah. Ketika Sari tiba, wanita itu menyambutnya dengan senyuman hangat.
“Terima kasih sudah repot-repot mengantar,” kata wanita itu sambil memberikan tip. “Semoga harimu menyenangkan, Nak.”
Sari tersenyum. Dalam hatinya, dia tahu bahwa perjuangannya dan komunitas pengantar makanan lainnya tidak sia-sia. Dunia mulai berubah, satu pesanan pada satu waktu.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap orang, tidak peduli pekerjaannya apa, berhak diperlakukan dengan hormat dan martabat. Bahwa di balik setiap layanan yang kita terima, ada manusia dengan perasaan, harapan, dan impian yang sama seperti kita.
Dan yang terpenting, bahwa secangkir kopi yang sederhana bisa menjadi awal dari perubahan yang mengubah dunia.