Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat, sebuah kearifan dari tanah Bugis hadir mengingatkan kita tentang hakikat sejati kehidupan. “Resopa Temmangingngi Naletei Pammase Dewata” – kerja keras tanpa mengenal lelah akan membuka pintu berkah dari Sang Ilahi. Ungkapan sederhana ini bukan sekadar warisan budaya, melainkan sebuah kritik tajam terhadap mentalitas instan yang kini melanda generasi digital.

Budaya Instan vs Kearifan Leluhur

Kita hidup di era di mana segala sesuatu diukur dengan kecepatan. Makanan instan, komunikasi instan, bahkan kesuksesan pun diharapkan datang secara instan. Media sosial mempertontonkan kisah-kisah sukses yang tampak mudah dicapai, menciptakan ilusi bahwa kesuksesan dapat diraih tanpa perjuangan berarti. Generasi muda terjebak dalam ekspektasi yang tidak realistis, mengharapkan hasil maksimal dengan usaha minimal.

Di sinilah relevansi filosofi Bugis menunjukkan kekuatannya. Warisan Nene’ Mallomo dari Kerajaan Sidenreng abad ke-17 ini mengajarkan prinsip fundamental yang berlawanan dengan budaya instan: tidak ada jalan pintas menuju kesuksesan sejati. Setiap pencapaian memerlukan dedikasi, ketekunan, dan ketabahan yang tidak dapat dikompromi.

Kerja Keras sebagai Bentuk Spiritualitas

Yang menarik dari konsep “resopa temmangingngi” adalah dimensi spiritualnya. Dalam pandangan Bugis, bekerja keras bukan sekadar aktivitas duniawi, tetapi bentuk ibadah yang mendekatkan manusia kepada Tuhan. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa Allah mencintai hamba yang melakukan sesuatu dengan kesungguhan (itqan).

Konsep ini menantang dikotomi palsu antara dunia dan akhirat yang sering ditemukan dalam pemahaman agama yang dangkal. Kerja keras di dunia, jika dilandasi niat yang benar, justru menjadi jalan menuju ridha Ilahi. Inilah yang membedakan etos kerja Bugis dengan budaya kerja kapitalistik yang seringkali mengorbankan nilai-nilai spiritual demi pencapaian material.

Tantangan Kontemporer

Namun, menerapkan prinsip “resopa temmangingngi” di era modern bukanlah perkara mudah. Tekanan ekonomi, persaingan global, dan tuntutan hidup yang semakin kompleks membuat banyak orang terjebak dalam siklus kerja yang tidak sehat. Kerja keras yang dimaksud dalam filosofi Bugis bukan kerja yang membabi buta tanpa makna, melainkan kerja yang cerdas, terencana, dan bermakna.

Di sini penting untuk membedakan antara “sibuk” dan “produktif”. Banyak orang merasa telah bekerja keras karena sibuk sepanjang hari, padahal aktivitas mereka tidak menghasilkan nilai yang berarti. Kerja keras dalam konteks “resopa temmangingngi” adalah kerja yang fokus, berkualitas, dan berkelanjutan.

Relevansi dalam Konteks Indonesia Modern

Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia memiliki potensi demografis yang luar biasa. Namun, bonus demografi ini akan menjadi bencana jika tidak dibarengi dengan etos kerja yang kuat. Mentalitas instan yang berkembang di kalangan generasi muda menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa.

Filosofi “resopa temmangingngi” dapat menjadi fondasi untuk membangun karakter bangsa yang tangguh. Pemerintah dan institusi pendidikan perlu menginternalisasi nilai-nilai ini dalam kurikulum dan kebijakan pembangunan. Bukan hanya sebagai warisan budaya yang dipajang, tetapi sebagai prinsip hidup yang diamalkan.

Menuju Transformasi Sosial

Transformasi sosial tidak akan terjadi tanpa perubahan mentalitas. Kita membutuhkan revolusi mental yang dimulai dari pemahaman bahwa kesuksesan sejati memerlukan perjuangan nyata. Media massa dan platform digital perlu turut berperan dalam menyebarkan narasi yang mempromosikan kerja keras dan ketekunan, bukan hanya memuliakan hasil akhir.

Dalam konteks ekonomi, prinsip ini dapat menjadi dasar untuk membangun ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan. Pengusaha yang menerapkan filosofi “resopa temmangingngi” tidak akan tergoda untuk mencari keuntungan instant melalui cara-cara yang merugikan masyarakat atau lingkungan.

Penutup: Kembali ke Akar

“Resopa temmangingngi naletei pammase Dewata” bukan sekadar slogan atau motto hidup. Ini adalah panggilan untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental yang telah terbukti mengantarkan nenek moyang kita pada peradaban yang gemilang. Di era digital yang penuh dengan distraksi dan godaan jalan pintas, kearifan ini menjadi kompas yang menuntun kita menuju kesuksesan yang hakiki.

Saatnya kita menolak budaya instan yang merusak karakter bangsa. Saatnya kita kembali merangkul kerja keras sebagai jalan menuju berkah Ilahi. Karena di balik setiap tetes keringat yang tulus, ada surga yang sedang disiapkan oleh Sang Maha Pemberi Rezeki.

Mari kita jadikan “resopa temmangingngi” bukan hanya warisan masa lalu, tetapi panduan masa depan yang akan mengantarkan Indonesia menuju kejayaan yang sesungguhnya.

 

Salam Bugis Rantau, Tabe’!