Malam telah menjadi saksi bisu ketika keheningan rumah dinas itu tiba-tiba terkoyak oleh suara pintu yang dibanting keras. Di balik kemegahan ruang tamu yang dihiasi marmer putih dan lukisan-lukisan mahal, pertengkaran dahsyat sedang mencapai puncaknya.
Kayangan berdiri tegak di tengah ruangan, matanya berkilat marah. Wajahnya yang biasanya tenang kini memerah padam. “Robby!” serunya dengan suara yang bergetar. “Bagaimana bisa lima orang kepercayaanmu ditangkap sekaligus? Mereka semua orang dekatmu!”
Robby duduk dengan tenang di sofa mewahnya, menyeruput kopi panas sambil menatap istrinya. Kepala botak pria paruh baya itu berkilat tertimpa cahaya lampu kristal. “Kamu terlalu khawatir, sayang,” ucapnya dengan nada datar. “Aku sudah mengatur semuanya. Nama keluarga kita tidak akan ternoda.”
“Mengatur?” Kayangan tertawa getir. “Kamu pikir ini permainan? Ini KPK, Robby! Mereka tidak main-main. Dan kamu tahu betul posisi keluargaku di negeri ini. Ayahku adalah tokoh reformasi, kakekku adalah pahlawan nasional. Aku tidak akan membiarkan nama besar keluarga ini hancur karena ulahmu!”
Robby bangkit perlahan, berjalan menghampiri jendela besar yang menghadap ke taman. “Kamu masih terlalu naif, Kayangan. Di negeri ini, yang penting bukan benar atau salah. Yang penting adalah siapa yang punya koneksi dan kekuasaan.”
Kayangan merasakan hatinya mencelos. Kata-kata suaminya itu seperti tamparan keras di wajahnya. “Jadi selama ini kamu memang…” suaranya terputus, tidak sanggup melanjutkan.
Di televisi, penyiar berita terus memberitakan penangkapan lima orang dalam kasus korupsi pembangunan infrastruktur. Proyek jalan yang seharusnya sepanjang puluhan kilometer ternyata hanya berupa jalan kecil di depan kantor kontraktor.
Suara anak-anak mereka terdengar dari lantai atas. “Mama, kenapa Papa tidak naik ke atas?” tanya si sulung dengan polos.
“Papa sedang ada urusan penting, sayang,” jawab Kayangan dengan suara bergetar, berusaha menenangkan anak-anaknya.
Robby kembali duduk, kali ini dengan ekspresi lebih serius. “Kamu tahu, Kayangan, hukum di negeri ini seperti kain. Bisa dirobek, bisa dijahit, bisa dibentuk sesuai kebutuhan. Yang penting kita punya benang dan jarumnya.”
Kayangan menatap suaminya dengan tatapan kosong. “Robby, aku lebih takut pada kenyataan bahwa kita sudah terlalu jauh tenggelam dalam lumpur ini. Bagaimana aku bisa menghadapi anak-anak kita nanti?”
Keheningan melanda ruangan. Hanya suara detik jam dinding yang mengisi kesunyian malam itu.
Tiba-tiba, televisi menampilkan breaking news yang membuat keduanya terdiam. “KPK telah mengamankan bukti-bukti yang mengarah pada keterlibatan pejabat tinggi daerah, termasuk seorang gubernur dengan inisial R.M.”
Wajah Kayangan memucat. Tangannya bergetar saat menatap layar televisi. “R.M… itu…”
Robby langsung meraih ponselnya dengan tangan gemetar. “Halo, saya butuh bantuan hukum sekarang juga. Persiapkan segala sesuatunya.”
Malam itu, hujan turun deras mengguyur kota. Petir menyambar-nyambar, seolah alam turut murka atas ulah manusia. Di dalam rumah mewah itu, pasangan suami istri duduk dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
Kayangan menatap keluar jendela, air matanya bercampur dengan air hujan yang menetes di kaca. “Robby, bagaimana kita bisa sampai di titik ini? Dulu kita punya mimpi yang mulia…”
Robby hanya diam, matanya kosong menatap lantai marmer yang dingin. Di kejauhan, sirene mobil terdengar semakin mendekat.
Catatan: Cerita ini adalah karya fiksi belaka. Segala kesamaan dengan tokoh atau peristiwa nyata adalah kebetulan semata.
Salam Satu Pena!
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.