“The heart of man is very much like the sea, it has its storms, it has its tides and in its depths it has its pearls too.” – Vincent van Gogh
PUNGGAWANEWS, OPINI – Di tengah terumbu karang yang indah dan budaya yang kaya, ada ancaman yang siap menghancurkan warisan dunia ini. Apa yang harus kita pilih?
Raja Ampat adalah keajaiban alam Indonesia yang menjadi kebanggaan dunia. Dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, wilayah ini tidak hanya menarik bagi para penyelam dan ilmuwan, tetapi juga menjadi tempat hidup bagi masyarakat adat yang telah menjaga alamnya selama berabad-abad.
Namun, saat ini, keindahan Raja Ampat berada di ambang kehancuran. Bukan karena bencana alam, tetapi karena nafsu untuk mengeksploitasi nikel, mineral yang dijuluki sebagai kunci energi hijau masa depan.
Sejak 6 Juni 2025, seruan mendalam dari Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, meminta Presiden @prabowo untuk menghentikan penambangan nikel di Raja Ampat, semakin memperjelas ancaman terhadap wilayah ini.
Seruan tersebut bukan sekadar permintaan, melainkan jeritan hati seorang pejuang lingkungan yang selama ini berdiri di garis depan dalam menjaga kelestarian laut Indonesia.
Raja Ampat, yang terletak di Papua Barat Daya, dikenal dengan pulau-pulaunya yang indah dan kekayaan biodiversitas lautnya. Pulau Misool, sebagai bagian dari gugusan Raja Ampat, bahkan memiliki batuan tertua yang pernah ditemukan oleh manusia.
Namun, yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat adat Suku Betew dan Maya, yang telah lama hidup berdampingan dengan alam, menjadikan laut dan hutan sebagai bagian dari identitas dan sumber kehidupan mereka.
Sayangnya, kini mereka menghadapi ancaman besar akibat rencana pertambangan nikel yang mengancam ekosistem dan kehidupan mereka.
Pulau-pulau seperti Gag, Kawe, dan Manura telah merasakan dampak langsung dari penambangan ini, dan kini Pulau Batang Pele serta Manyaifun berada di ambang kehancuran.
Masyarakat adat menolak keras penambangan ini, mengingat wilayah tersebut adalah hutan lindung dan kawasan sakral bagi mereka. Hal ini juga diperkuat oleh petisi yang mereka ajukan kepada DPRD Raja Ampat pada 24 Maret 2025, yang menegaskan bahwa wilayah tersebut adalah sumber kehidupan mereka, dan bukan untuk dieksploitasi demi kepentingan industri.
Namun, meskipun seruan dari masyarakat lokal dan lembaga lingkungan seperti Greenpeace semakin keras, pemerintah belum menunjukkan respons yang memadai.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) sudah melakukan pengawasan terhadap empat perusahaan tambang, termasuk PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa, banyak pelanggaran terhadap peraturan lingkungan ditemukan.
Misalnya, penambangan di pulau kecil yang melanggar Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta aktivitas pertambangan yang dilakukan tanpa sistem manajemen lingkungan yang jelas.
Data dari Global Forest Watch (GFW) menunjukkan bahwa lebih dari 39.800 hektar hutan telah hilang di Papua Barat, dengan sekitar 1.790 hektar di antaranya disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Ini menunjukkan bahwa meskipun nikel diklaim sebagai bahan baku utama untuk kendaraan listrik yang ramah lingkungan, kenyataannya proses penambangannya justru merusak alam secara besar-besaran.
Ironisnya, meskipun pemerintah menyatakan komitmen untuk menindak tegas pelanggaran terhadap lingkungan, kenyataannya kebijakan yang ada sering kali tidak cukup kuat untuk menahan laju perusakan alam.
Pada 2025, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menguatkan kebijakan pelarangan penambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil, namun kenyataannya, industri pertambangan sering kali menemukan celah dalam peraturan yang ada. Ini memberikan ruang bagi mereka untuk terus mengeksploitasi kawasan yang seharusnya dilindungi, termasuk Raja Ampat.
Selain kerusakan ekologis, penambangan ini juga membawa dampak sosial yang sangat serius. Masyarakat adat sering kali terpinggirkan dan tidak mendapatkan kompensasi yang adil. Tanah mereka diambil tanpa persetujuan yang sah, dan mereka dipaksa menerima pekerjaan dengan upah rendah.
Sumber daya alam yang seharusnya menjadi kekayaan untuk kesejahteraan mereka justru dieksploitasi demi keuntungan yang lebih besar oleh perusahaan-perusahaan besar yang tidak peduli dengan nasib masyarakat setempat.

Untuk itu, Penulis percaya bahwa tindakan yang lebih tegas dari pemerintah sangat diperlukan. Moratorium terhadap eksploitasi nikel di kawasan konservasi seperti Raja Ampat harus segera diterapkan. Penulis juga yakin bahwa pemerintah harus melakukan audit menyeluruh terhadap izin-izin pertambangan yang telah dikeluarkan, untuk memastikan tidak ada lagi ruang bagi perusahaan-perusahaan besar yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek. Kebijakan yang berlandaskan pada keberlanjutan ekologis, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat harus menjadi prioritas utama.
Penulis merasa bahwa kita semua perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita benar-benar ingin mengorbankan keindahan alam Indonesia demi keuntungan sesaat? Apakah kita rela merusak warisan budaya dan ekologis demi energi hijau yang justru merusak alam?
Kita semua memiliki peran untuk menjaga kelestarian alam Indonesia. Sebagai warga negara yang peduli dengan keberlanjutan alam dan keadilan sosial, kita tidak boleh tinggal diam.
Dengan langkah kecil yang kita ambil bersama, kita dapat memberikan dampak besar bagi masa depan alam Raja Ampat. Menjaga ekosistem yang ada di sana adalah tanggung jawab bersama, yang tidak bisa ditunda lebih lama lagi.
Sekarang saatnya untuk bertindak, sebelum suara alam di Raja Ampat benar-benar hilang.
“You can never cross the ocean until you have the courage to lose sight of the shore.” – Christopher Columbus.
Mari kita ambil langkah pertama, dengan keberanian untuk melangkah jauh demi kelestarian alam dan kesejahteraan generasi mendatang.
